Selasa, 23 Agustus 2016

Mengecilkan Makna Perpisahan



Tepat ketika saya mengetik tulisan ini, baru kemarin malam ada (lagi) seorang rekan sekantor, yang meski tidak dalam satu tim, berpamitan di hari kerja terakhirnya.

Saya dan orang tersebut tidaklah saling mengenal nama. Kami berada di satu lantai yang sama karena naungan grup perusahaan yang sama pula. Memang tidak seperti biasanya tim yang berbeda perusahaan dan fungsi ini berpamitan hingga ke tim perusahaan lain saat last day. Namun dia melakukan yang sebaliknya. Dan saya sangat menghargai respek orang tersebut.

Bicara tentang perpisahan, saya sebenarnya termasuk ke dalam kategori orang yang mudah sedih ketika siapa saja- ya, siapa saja- berpamitan langsung ke saya di hari terakhir kerjanya.

Bisa dibilang, 90% orang yang berpamitan saat last day itu bikin saya tiba-tiba sendu, lalu kadang merenung. Lebay? Go judging me, tapi saya memang begitu, dari dulu.

Pernah di suatu masa, salah satu teman di kubikel saya berpamitan. Bukan teman dekat, tapi namanya 1 kubikel pasti pernah saling 'nyampah', mengungkapkan perasaan masing-masing pada satu hal atau satu orang tertentu (itu ghibah bukan ya namanya?) :D

Di last day dia, semua biasa saja. Saya baru mellow waktu bertemu dia lagi di depan gedung kantor. Kala dia berpamitan lagi dengan atasannya dengan wajah sedih. Yah, saya ikutan sedih deh. Lucunya, ini membuat atasannya menyangka saya naksir orang ini. Haha! (Kalau masih ada orang berpikiran naif di usia akhir 30-an, saya rasa mantan atasan teman saya itu juaranya. 😂😂)

Bagaimana mungkin saya tidak sedih? Selain karena sikapnya yang baik, humble, dan easy going, jarak duduk dengannya yang dekat membuat rasa kehilangan itu lebih nyata. Persis seperti melihat tetangga pindah. Apalagi posisi dia lalu tidak digantikan oleh orang baru. Semakin hampa bangku itu. Bangku kosong yang tidak pernah diisi lagi.

Kesedihan demi kesedihan selalu datang lagi setiap ada teman/rekan lain yang pamit, dimanapun saya berkantor. Semakin kenal/akrab, rasa sedihnya juga makin serius. Berlebihan memang kalau saya bilang saya membenci perpisahan. Tapi kata orang, ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Dua-duanya harus diterima dengan lapang dada.

Jadi, apa yang sebenarnya bikin saya suka sedih dengan perpisahan rekan kerja? Pertama, ada habit/rutinitas yang sadar atau nggak akan berubah ketika rekan pergi. Meski akan ada pengganti, setiap manusia unik. Tidak ada 2 orang di dunia ini dengan sifat sama persis. Penggantinya bisa jadi lebih baik secara profesional tapi buruk secara sosial, atau sebaliknya sangat menyenangkan sebagai teman tapi merugikan dan mengikis kesabaran sebagai rekan kerja. Kedua, keterlibatan emosi. Terbiasa bekerja dengan rekan baik akan memunculkan rasa kehilangan yang lumayan parah. Beruntunglah jika kamu menemukan pengganti rekan lama yang tidak hanya lebih profesional tapi juga one of a kind, bikin senang. Maksudnya? Bersedia tertawa di depan kamu tapi nggak menjadikan kamu topik hangat saat ia bersama rekan lainnya, membantu diluar scope of works ketika benar-benar dibutuhkan, menemani sesi-sesi stress dengan menertawai tokoh film di bioskop, things like that. Sudahkah kamu bertemu rekan seperti ini?

Jadi, ketika perpisahan sebenarnya begitu krusial, saya sangat..sangat heran di era fleksibel, terbuka, dan semua orang bebas jadi dirinya sendiri ini, masih ada secuil tempat kerja yang tega menarik-ulur pekerjanya dalam waktu singkat: 3 bulan. Ketika sistem personalia dibuat tanpa melibatkan unsur humanisme dan psikologis, mungkin seperti itu jadinya.

Lebih aneh lagi dengan orang-orang yang begitu terbiasanya dengan perpisahan sampai tidak peduli dan bersikap biasa saja saat kehilangan salah satu jarinya: rekan kerja dalam timnya.

Saya berharap, setinggi apapun posisi kamu nanti, jangan jadi imun dengan emosi, ya. Sedih itu sah-sah saja karena kamu manusia. Dan kehilangan itu wajar-wajar saja karena berarti kamu masih punya jiwa; rasa; naluri manusia.

Tidak ada komentar: