Rabu, 02 Maret 2016

Starbucks dan Pria Buta

Apa keluhan lo hari ini?

Macet? Sakit flu belum kunjung sembuh? Dimarahi atasan? Kopi tumpah di baju putih bersih bermerk ternama andalan saat bekerja? Marahan dengan teman segeng dan belum juga baikan? How bad it actually is?

Ada peristiwa kurang menguntungkan yang layak gue jadikan bahan renungan tiga malam yang lalu. Semua dimulai saat gue nggak bertemu dengan abang ojek online yang terang-terangan udah gue pesan layanannya. Entah kenapa, berkali-kali orang tersebut mengirimkan notifikasi bahwa ia telah sampai tujuan (tempat gue berada), tapi orang tersebut tidak juga menampakkan batang hidungnya.

Semua sebenarnya kembali ke soal "modal". Gue punya kesempatan untuk menghubungi abang ojek itu dengan pulsa yang tersisa. But then I think, "this kind of thing has happened for many times. Mau sampe kapan gue yang kebalik "siapkan" modal untuk sekedar bertanya lokasi si ojek yang notabene akan gue bayar itu?

Balik ke tunggu-tungguan ojek. Gue yang mulai nggak sabaran menunggu 10 menit tapi belum juga tiba akhirnya memutuskan untuk mencari sendiri sosok si ojek yang dalam GPS letaknya sudah dekat itu. Malas membuka payung, awalnya gue nekat menembus gerimis sambil mencari-cari titik GPS yang tempat  si ojek berada. Ternyata, bukan gerimis yang gue alami. Hujan beneran!

Abang ojek yang bak selebriti (yang susah dicari, padahal udah dipanggil dan akan dibayar!) itu tetap nggak gue temukan di sekitar lokasi gue mencarinya. Mengingat kerudung semakin lembap (mendekati basah), payung akhirnya gue buka dan..gue baru sadar, sudah cukup jauh gue berjalan untuk menemukan abang ojek itu. Why making it more difficult? Gue mutusin untuk terusin perjalanan dengan berjalan kaki sampai stasiun. Yah, meski jaraknya lumayan, sih. Nyaris 1 km. Tapi itu jarak yang cukup masuk akal untuk ditempuh dengan dengkul.

Seakan drama belum cukup datang ke saya malam itu, kantong kertas yang berisi 2 cup kopi (nggak perlu ya, disebutin lagi merk-nya apa) tiba-tiba jatuh dan tumpahlah isi kedua cup-nya. Satu cup selamat karena langsung diangkat, sedangkah satu cup lainnya begitu sukses terjatuh di jalan sampai terbuka tutupnya, menyisakan kekosongan yang menyedihkan. Yah, man, belum juga diminum! :((

Drama sinetron gue malam itu ditutup dengan kaki yang mulai lecet karena terus bergesekan dengan sepatu flat yang licin terkena air hujan. Kehujanan, tas robek, kopi tumpah, dan kaki lecet? Lengkap, ya. Pokoknya that early night is filled with series of unfortunate events (mirip judul film ini kayaknya). 

Gue melapor ke CS ojek online bahwa abang ojek dengan plat nomor yang sudah gue catat tidak menjemput sesuai order, dan sama sekali tidak mengabari keberadaan dia. Begitu kesalnya sampai gue juga berencana ingin meng-capture isi report issue (di kolom yang disediakan si app) ke salah satu manajer di perusahaan app transportasi tersebut yang kebetulan dijabat oleh salah satu teman kampus gue. Lalu, sampailah gue di stasiun, kereta datang, gue naik ke dalamnya, dan sesuatu yang sederhana sekaligus menarik terjadi.

Magically, in that peak hour, ada orang yang turun dan gue ditawarkan duduk. Belum sampai 5 menit, penumpang sebelah kanan gue menawarkan penumpang lain di seberang depan (yang bahkan nggak gue sadari siapa dan bagaimana keadaannya) untuk duduk. Dan, Dhang! Gue baru sadar, ternyata yang ditawari duduk adalah bapak tua dengan seorang anak kecil yang gue perkirakan umurnya nggak lebih dari 7 tahun. Bapak tersebut (maaf) buta, begitupun dengan seseorang yang gue asumsikan merupakan istrinya yang kemudian duduk di bangku seberang.

Seketika gue seperti ditampar. Hujan-hujanan mencari ojek, kopi tumpah, kaki lecet bukanlah sesuatu yang layak gue keluhkan karena (alhamdulillah) gue masih diberi kesempatan Yang Maha Kuasa merasakan tubuh yang sehat dan berfungsi sempurna. Dibandingkan si bapak yang mungkin seumur hidup nggak pernah melihat warna langit jam 7 pagi itu seperti apa, serangkaian peristiwa "kurang beruntung" yang gue alami sejak sejam sebelumnya tentunya bukanlah apa-apa. Gue akan termasuk ke dalam makhluk Tuhan paling nggak tau diri kalau masih juga mengeluhkan apa yang gue alami petang itu dengan hati dongkol. Serius, gue nggak mau jadi makhluk Tuhan sejenis itu.

Dua cup kopi (meski mahal) masih bisa dibeli kapan saja gue suka. Lecet akan sembuh dalam waktu cepat, hujan akan berhenti, dan besoknya layanan ojek online bisa dengan mudah gue pesan lagi. That simple.

Seketika itu, di menit-menit bapak itu duduk di sebelah kanan gue, ada sebongkah air yang gue tahan-tahan untuk nggak beneran tumpah dari pelupuk mata. Bukan air mata sedih, bukan air mata kesal. Gue cuma merasa sangat menyesal kenapa hal-hal dramatis yang sebenarnya kecil itu bisa mempengaruhi kondisi perasaan gue. Why focus on few annoying things when you have hundred of graces that day?

Kenapa nggak coba bersyukur aja dengan hal-hal baik yang sudah gue miliki, ketimbang mengeluhkan hal-hal kecil yang sangat jarang terjadi? Maafin saya ya Tuhan, I'm just an ordinary human. :')


'Dan nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?' (55:32)


Image courtesy: jacobimages(dot)com

Tidak ada komentar: