Selasa, 11 Agustus 2015

Tanpa Kata


tahukah kamu diam adalah juga bicara?
mungkin teori komunikasi berkata sebaliknya
tetapi aku benar-benar bicara padamu tanpa kata
berharap dengan nurani kau akan memahaminya

aku sering mengirim sinyal ke udara
sayangnya ruangan kerjaku berpendingin buatan
maka sinyalku hanya bisa berputar-putar, tak bisa keluar, 
ada lalu berpendar-pendar dan pudar

kucoba menatap handphone dan memandang layarnya
mungkin sinyal lain bisa kamu terima
lalu kuketikkan kata-kata di halaman aplikasi bicara
1, 2 jam kutunggu balasanmu sia-sia

menyalahkan langit yang cerah pun percuma
alam sebenarnya tak salah apa-apa
teknologi perasaanmu dalam menangkap sinyal yang perlu ditata
membuat diam-tanpa-kata ini tak hasilkan satupun jua

mungkin memang ini salah udara
karena ia tak berhasil membawa sinyalku ke hatimu nun jauh di sana
tak mengapa bila udara tak tahu perkara kita
aku saja yang butuh sesuatu untuk dipersalahkan secepatnya

ketika diamku tak lagi bermakna
mungkin sudah saatnya kita tak perlu lagi bersua
sesuatu yang terpenting saja sudah mati; ia bernama komunikasi hati
lalu untuk apa diam ini perlu kulanjutkan lagi?

Selasa, 14 April 2015

Pembatas Buku

Suatu pagi kau bertanya padaku
"Ingin kubawakan apa kau petang nanti?"
Perlu lebih dari semenit sebelum kujawab pasti,
"Aku ingin pembatas buku".

Kau menatapku dalam diam
Tanpa sepatah kata, aku tahu kau tak paham

Petang tiba dan kau datang
Dengan senyum terkembang yang jaga duniaku tak padam
Terbungkus rapi di sela sebuah buku
Kau serahkan pembatas buku itu

Kini aku buat kau bingung lagi
Mengapa selembar pembatas itu tidak aku terima
Samar-samar senyum itu hilang
Dan aku perlahan mulai menjelaskan

"Aku butuh pembatas buku,
karena ia menemani setiap bab kisahku.
Setia memberi jeda ketika aku terburu-buru dan lupa,
bahwa hidup harus disertai rasa dan cinta."

"Aku perlu pembatas buku,
yang tidak beranjak dari awal hingga akhirku,
dengan sabar menungguku kembali ketika aku terlena dunia,
meninggalkan sejenak halaman terakhir yang kubaca."

"Aku mau pembatas buku,
yang pastikan setiap halaman kisah tetap rapi,
meski kutinggal pergi untuk sebuah dunia yang lain lagi."

"Aku ingin pembatas buku,
yang tidak perlu belajar ketulusan,
karena ia melakukannya dari hari ke hari,
kepadaku pemilik kisah ini."

"Ketika semua sudah kudapat dari wujud nyata,
darimu apalagi yang layak kuminta?"

Kamu tersenyum tipis
Cinta memang tak perlu dijelaskan kata-kata.

:)

(In front of a window of cafe, Nov 20 2014)

Senin, 23 Februari 2015

Sombong boleh, asal...



Beberapa bulan ini gue terusik oleh sikap beberapa orang yang cukup “dekat” dengan gue. Bisa gue kategorikan dekat karena meski terhubung dengan tempat kerja (yang sekarang udah beda-beda), komunikasi nggak putus. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya baik, tapi harus diakui, waktu aktivitas mereka udah menjurus ke “bicara dengan topik manusia”, semua sikap baik mereka seolah hilang digantikan sebagian karakter lain yang berkaitan dengan “setan”. Wew, serem ya. Analoginya jadi “setan” karena hal-hal negatif yang tiba-tiba keluar dalam diri mereka, seolah tanpa kendali.

Bicara soal manusia, percaya deh, setiap manusia (siapapun dia) tetap aja biasa. Karena itu, memang selalu butuh usaha untuk menghindari yang negatif, dan mempertahankan yang positif. Dan manusia itu pastinya termasuk gue. Gue yang manusia biasa ini, secara teori religius pun masih “mengandung” 50% sifat setan, dan hanya gue sendiri yang bisa mengurangi persentase sifat setan tersebut. Bayangkan jika gue yang masih mengandung ½ sifat setan itu “terbiasa” berkomunikasi dengan orang-orang yang kurang lebih punya kadar sifat negatif yang sama. Berbahayakah? Mungkin nggak sih. Karena toh persentase gue dan mereka sama aja. Masalahnya, kalau tujuan hidup gue adalah untuk mempertahankan sifat positif dan menghindari yang negatif maka bersosialisasi dengan orang yang “masih sama aja” dengan gue ya berarti bisa dibilang “berbahaya”. Because it could lead me to nowhere but a worse version of me. Susah sekali menjadi gue yang seperti sekarang ini, dengan cara pandang hidup yang begini, dengan cara bicara yang seperti ini, dan cara menyikapi masalah yang seperti ini. To summarize it, how could I be a bit more angelic if I am surrounded with part-time-real devils?? 

Fiuh, balik ke persoalan “sombong” yang jadi judul tulisan ini, mengapa gue kategorikan orang-orang (yang sampai saat ini masih terkoneksi dengan gue via chatting) tersebut erat kaitannya dengan setan adalah karena 1 kata itu. Topik obrolan mengenai “orang lain” selalu mengarah pada 1 kata yang sama: sombong! Dan, setelah ngobrol dengan mereka, selalu gue mengingatkan diri sendiri akan kata tersebut jika direkatkan pada manusia biasa. Dan, semua manusia memang sebenarnya biasa aja. Jadi, manusia biasa itu nggak layak sombong. Mendekati aja nggak, apalagi beneran sombong!

Coba ingat-ingat ini. Sejak lahir kita rata-rata dirawat oleh orang yang paling menyayangi kita di dunia ini: ibu. Bahkan, buat yang kasus kelahirannya tidak normal (ditambah orang tuanya punya modal lebih), eksistensi kita di dunia masih harus dibantu banget sama orang lain. Siapakah dia? Dokter anak dan dokter bedah! Setelah lahir, bahkan untuk memastikan semua pakaian kita serba-bersih bebas kuman dan bakteri, perlu modal. Siapa yang menyediakannya? Orang tua! (Umumnya Ayah-jika dia punya). Datanglah masa sekolah. Masa paling merepotkan dari segi materi dan psikologis. Nggak ada duit orang tua, mana bisa gue dan lo sekolah di tempat layak yang sekarang lo bangga-banggakan itu! Nggak ada didikan psikologis guru, mana mungkin lo ada di posisi keren sekarang ini! Lalu datanglah kesusahan (ya, kalo lo belum sampai ke masa itu, believe me, akan ada masanya lo sampai ke sana meski cuma sementara), yang lucunya, nggak “dihadiri” orang-orang yang tadinya lo banggakan. Tersisalah keluarga dan beberapa teman-bersifat-malaikat yang tetap mengulurkan tangan. And yeah, you survived!

Dari sudut pandang “fase kehidupan” aja gue masih harus mikir-mikir-mikir dan mikir lagi untuk memutuskan apakah manusia itu layak sombong atau nggak. Belum lagi dari sisi lain, seperti fisik.

Remember your daily physical activities. The good ones, and.. hey you also had the bad ones! Iya sih, badan lo itu udah kayak robot, otomatis bangun di jam tertentu, bergerak lincah di jam selanjutnya, mengolah makanan (sehat maupun nggak sehat) di jam yang lain, merespon kontak fisik dari orang lain secara baik dan benar, dan banyaaaak aktivitas fisik menakjubkan lain. Tapi, bisakah kita dalam sehari nggak melakukan (maaf) kentut, buang air (kecil maupun besar), menguap, sendawa, atau (yang paling jarang) bersin? Wah, ternyata manusia masih banget punya semua aktivitas “nggak keren” itu, yang sayangnya nggak bisa ditinggalkan karena kita memang memerlukannya! Dari segi aktivitas fisik yang “memalukan” ini, masih bisakah lo pikir manusia layak untuk sombong

None of us is different, karena baik lo (ya, lo yang merasa keren banget!) dan gue yang kentut dan pup-nya masih bau cuma manusia biasa yang kalau Tuhan nggak menghendaki hidup pun, kita cuma akan tinggal sejarah. Masih layakkah lo menyombongkan diri di atas segala fakta (yang nggak mau lo bahas) ini?

Sebagai manusia yang biasa-biasa aja, gue berpendapat kita sah-sah aja untuk sombong asal...lo bisa yakinin diri lo sendiri untuk nggak pernah berurusan dengan dokter seumur hidup lo (sehat terus sih, ngapain ke dokter??), bisa mengubah warna darah lo jadi biru (iyes broh, karena kita orang ‘darah biru’!), dan nggak pakai parfum/cologne/body spray lagi seumur hidup karena bahkan kentut dan pup lo itu wangi, man! (ah gila, aku orang kereeeen!)

Tuh kan, boleh-boleh aja kok sombong... ;)