Kamis, 16 Juni 2011

suka suka gue, kaleee!

iiiiih, kamu rese banget siiiiih!
eits, judulnya nyolot, ya? saya ngajakin berantem? nggak, bosley, nggak kok. berantem untuk alasan yang kurang penting cuma ngabis-ngabisin waktu. saya lagi ingat beberapa peristiwa yang terjadi di lingkaran hidup saya akhir-akhir ini, dan ingat gimana saya dulu. sebelum punya anak. sebelum saya melihat hidup dan dunia ini dari sudut pandang berbeda. sebelum saya sadar, kalau kata-kata yang jadi judul tulisan ini ternyata salah.

'suka-suka gue' sering dipakai untuk mengungkapkan ketidaksukaan seseorang bila menemui orang lain yang ikut campur dengan urusannya. baik itu sekedar berkomentar, atau yang ekstrim, ikutan mengobrak-abrik urusan orang, tanpa diminta orang yang  bersangkutan. kalau urusan si orang itu menulis, maka si tukang ikut campur bakal "membantu" menulis untuk orang bermasalah itu. begitu pun kalau masalah orang itu melompat, maka si tukang ikut campur bakal ikut melompat, walau gak diminta si empunya masalah.

kenapa kita begitu nggak nyaman dengan orang-orang yang mencampuri urusan kita? ya karena menurut kita, kita lah yang mengerti gimana permasalahan yang sesungguhnya. sepintar-pintarnya orang lain memberi komentar, saran, atau ikutan nimbrung permasalahan orang, tetap saja mereka nggak akan mengerti rasanya menjadi kita, si empunya masalah. jadi, buat yang suka berkomentar dan memandang aneh kita, si empunya masalah, ingin sekali berteriak ke tukang ikut campur itu. "gue berhak nentuin hidup gue sendiri, dan ini masalah gue! ngapain lo yang rese!"

kecenderungan berprinsip "hidup ya hidup gue, masalah ya masalah gue" memang ciri khas anak muda banget.      ya, termasuk seumur saya. masa-masanya manusia sedang merasa ingin benar-benar bebas, merasa paling tahu, tak ingin digurui, tak ingin dihakimi, bahkan ketika orang itu benar-benar sedang salah. malah, saking ngototnya, seseorang bisa mencampur adukkan yang salah dengan yang benar, lalu menciptakan ruang "abu-abu", sebagai dalih untuk membenarkan yang salah, dan menyalahkan yang benar.

akhirnya, kalimat "suka suka gue, kaleee!" jadi pilihan waktu seseorang merasa area "abu-abu" buatannya terusik. ketika sesuatu yang diperbuatnya dikritik, ketika ada sutradara sukarela baru yang tiba-tiba mencampuri drama hidupnya. terus, kenapa akhirnya saya merasa kalimat ini salah? hmm.. menurut saya sih, kalimat ini sering digunakan untuk waktu dan tempat yang salah. benar sekali, setiap orang berhak mengurusi masalahnya sendiri. benar juga, bahwa setiap orang tidak berhak mengomentari, mengkritik, apalagi mencampuri urusan yang tidak ada hubungan dengan dirinya sendiri. tapi, sekali lagi, kalau nggak ada hubungannya dengan dirinya sendiri loh.

masalah pribadi akan jadi masalah umum kalau sudah mulai mengusik dan merugikan banyak orang. dari mana kita tahu sudah mulai jadi masalah umum? dari kuantitas kritikan yang sering kita abaikan itu!
misalnya, ada tetangga kita yang namanya Cahaya. si Cahaya yang doyan beli barang-barang serba berkilau ini baru beli motor baru. warnanya perak metalik! orang pertama yang mengkritik Cahaya adalah si Suram, yang nggak suka segala sesuatu yang terang benderang, termasuk motor skuter matik Cahaya yang bikin Suram silau setengah mati. begini kira-kira reka dialognya:

Suram: Cahaya, sekali-kali beli sesuatu warna hitam,kek. pusing, tau,ngeliatin tetangga macam lo yang barang-barangnya bling-bling melulu. Hitam keren lagi,Ya...
Cahaya: yah, Ram, lo sih, gue beli mukena putih juga lo suruh ganti ke warna item,kali..

Besoknya, bukan cuma Suram yang protes ke si Cahaya. nenek sebelah rumah Cahaya juga mulai ngedumel. begini kira-kira isi kicauannya:

Nenek Reot: buset dah tu si Cahaya. nggak kurang mengkilap apa motornya. gue ampe suse jalan gara-gara kesilauan. lagian, ude tau kampung ini banyak nenek-nenek rabunnya. dia masih aja beli barang yang bikin kita pada susah melihat!

Cahaya nggak berani ngelawan kicauan Nenek Reot. Tapi bukannya karena sadar, dia cuma nggak mau nenek-nenek sekampung gebukin dia aja. Maka, pas di depan Nenek Reot,dia bilang:
"Tapi kalo nenek pake kaca mata item,nggak bakal silau, kan. kaca mata item nggak mahal kok Nek, harganya."

Bukannya minta maaf, Cahaya malah membela tindakan salahnya. Cahaya seolah nggak mau tau kesusahan yang dirasakan para tetangga di kampungnya.

besoknya lagi, ada pasangan kakek-nenek yang menegur Cahaya. Ramah, dan nggak langsung mengkritik.

Kakek Tuir: Cahaya, mau ke kampus ya? Bagus motornya.
Nenek Tuir: Iya, Nak, saking bagusnya, sampai saya terpeleset kemarin sore,waktu ngeliatin motor Cahaya yang meriah. Maklum,mata saya udah nggak kuat melihat yang terlalu terang.
Cahaya: (dengan tampang sebel karena abis dikritik, dan nggak peduli karena merasa keluhan pasangan tua itu NGGAK ADA HUBUNGANNYA dengan diri dia) Saya masih punya sepasang kacamata hitam, Nek.yang satu saya tinggal di rumah. yang satu lagi, kebetulan saya bawa. Nih,saya kasih satu aja ke Nenek. Eh?tadi katanya siapa yah, yang beneran jatuh? Nenek apa Kakek?

*gubrak!! kok malah jadi ngasih kaca mata*

Nah, kalau dihitung-hitung, sudah 4 orang yang mengkritik Cahaya. yang ke-1 adalah temennya yang sudah sangaaaaat biasa mengkritik. sisanya adalah orang lain yang nggak pernah mengkritik Cahaya sebelumnya. Lalu, apa semua itu bisa dibilang ikut campur? terus, kritik mana yang beneran harus didengarkan?

Saya rasa, yang baca tulisan ini sudah cukup cerdas untuk menilai, jenis kritikan mana yang membangun, mana yang nggak. kita sama-sama tahu, orang sirik pasti bawaannya mengkritik melulu. bukan untuk membangun, tapi untuk menjatuhkan. itulah jenis si Suram. lain halnya dengan para kakek nenek yang protes ke Cahaya. mereka jelas orang-orang yang dirugikan dari perilaku "suka suka gue" Cahaya. kritik seperti ini yang harus didengar. karena,mereka mengkritik bukan karena suka melakukannya, tapi terpaksa. mereka orang-orang baik yang nggak akan mengkritik, kalau nggak ada yang mengganggu.

Sarapnya, si Cahaya malah membela kesalahan yang dilakukannya dengan mengalihkan isu (jiaelah,gaya bgt bahasa gue), dari yang harusnya motor metalik jadi kacamata item. parahnya lagi, dia berhasil membelokkan tersangka, yang harusnya dirinya sendiri jadi orang lain (si Kakek Nenek). Dia menumbuhkan rasa bersalah, seoah gara-gara Kak Nenek itu sendiri makanya tragedi kepeleset terjadi.

jadi, apa kita termasuk golongan si Cahaya? Suram? atau pasangan kakek-nenek? jawabannya pasti kita sendiri yang paling tahu. saya yakin, salah satu fungsi hati nurani yang ada pada manusia adalah untuk berintrospeksi. Berkaca dan memahami diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain yang (kelihatannya) kurang suka pada apa yang kita lakukan. Apalagi kalau jumlah kritiknya sudah banyak dan masih juga bilang, "suka-suka gue, kaleee!". Kewarasan kita (saya dan anda, yang baca tulisan ini) rasanya patut diragukan karena nggak sadar-sadar juga dengan kesalahan sendiri, yang meresahkan orang lain dan membuat diri kita dikritik.

selamat mengkritik diri sendiri! hidup kritik kentang!