Kamis, 26 Juli 2012

on the way to be a ..... servant

Ahem.
Ini posting pertama yang saya lakukan secara spontan, dan ditulis pagi-pagi pula. tanpa perencanaan. but, honestly, I guess I just should post any idea in my head.

Yang sedang kepikiran di benak saya sejak kemarin adalah "civil servant". hmmm.. Pernah terpikir kenapa orang bule memberi nama profesi ini dengan kata "servant".

Logikanya, "servant" itu berkewajiban melayani orang. Jadi, kalau statusnya "civil servant", harus mau dan ikhlas melayani kepentingan umum. Dan nggak usah mengeluh, karena usaha mereka pun nggak gratis. Pemerintah menyediakan dana khusus untuk membiayai kerja "civil servant" ini. Oh iya, buat yang belum familiar dengan arti "civil servant", dalam bahasa Indonesia, frasa ini diterjemahkan secara umum sebagai PNS.

Beberapa hari lalu, saya berepot-repot mengurus kelengkapan untuk melamar jadi seorang "civil servant". Nah, kembali ke soal niat melamar ini, lo tau sendiri kan bosley, urusan melamar kerja di departemen pemerintahan nggak pernah sederhana. Sebelum keterima, ada aja kelengkapan yang harus diurus dengan niat banget. Padahal baru di tahap seleksi pertama. Fiuhh!!

Dalam perjalanan saya mengurus ini-itu, otomatis saya juga bersinggungan dengan beberapa PNS yang berkewajiban membantu kepengurusan surat ini-itu tersebut. dan... saya datang pagi-pagi. sebenernya, untuk ukuran karyawan swasta, 8.30 pagi itu nggak pagi-pagi banget. dengan jam masuk rata-rata dimulai pada pukul 08.00, 30 menit setelahnya tentu sudah terpakai untuk mengerjakan tugas dan kewajiban di tempat kerja masing-masing.

Berbeda dengan salah satu kantor tempat saya mengurus kartu kuning. dari lobi, masyarakat umum diarahkan untuk berbelok ke kiri, ke tempat pelayanan umum berada. sambil ke arah yang ditunjukkan, saya sempat celingukan ke dalam sebuah ruangan.

Saya nggak tau deh, apa karena jumlah pegawainya yang sedikit sekali, atau sebagian besar belum datang kerja, tapi pemandangan yang saya lihat di ruangan itu adalah beberapa meja dan kursi kosong, serta TV yang menyala. hanya satu bangku yang terisi orang. itupun dia sedang menonton sambil tidur-tiduran. Hah!

Lalu sampailah saya di tempat pelayanan umum. Saya kan kakak sepupu yang saat itu ikut mengantar melihat pemandangan dua pegawai. Seorang bapak dan seorang ibu tengah mengobrol akrab. Sangat santai. Waktu ditanya dimana tempat mengurus kartu kuning, si bapak menjawab, "wah, Ibu ini yang mengurus.". Kemudian saya diarahkan untuk mengikuti si ibu yang ramah itu. Dalam hati saya berkata "enak betul kerja sesantai ini." Sampai dalam ruangan pelayanan umum pun suasananya nggak kalah santai. Menjelang jam 9, semua masih tampak berleha-leha. Ada juga yang baru terlihat datang. Bisa jadi memang jam kantor mereka molor karena kebijakan selama bulan Ramadan. Tapi, sampai di sini, saya bertanya pada diri sendiri (dalam hati) lagi, "beneran lo pengen jadi PNS? dengan ritme kerja yang kayak begini??".

Pertanyaan dalam hati itu juga dengan mantap saya jawab sendiri dalam pikiran. Bahwa, posisi yang saya lamar di sebuah departemen itu tidak sama seperti pns-pns yang saya lihat pagi-pagi di kantor itu. Saya kemungkinan akan begini...begitu... dengan tanggung jawab yang lebih berat pula.

Hmm, benarkah demikian?? Dalam hati saya, memang ada sedikit perasaan khawatir bahwa, yang namanya pns, ritme kerja dan kedisiplinannya tentu nggak jauh-jauh dari apa yang saya lihat di kantor pemerintahan pagi-pagi itu. Tak masalah di manapun saya ditempatkan, selama berstatus pns, peluang untuk merasakan berleha-leha pagi dan bersantai-santai kemudian tetap besar.

Satu hal yang masih mengusik benak saya. Semua pegawai pemerintahan yang saya datangi demi mengurus kelengkapan surat itu tak ada yang tidak "menadah tangan". Saya yang kala itu sedang berpuasa, ikhlas saja memberi tip pada mereka. Tapi, yang saya sesalkan, kenapa "tradisi" ini masih terus ada. Padahal pemerintah negara ini sudah meng-anggarkan dana untuk mereka yang bekerja di bawah bendera pemerintah. Mereka tidak ada di sana secara gratis. gaji, tunjangan, bonus, dan lain-lainnya pasti juga mereka dapatkan. Jadi, untuk apa lagi mereka menadah tangan??

Semoga kelak, di mana pun saya bekerja, kejujuran tetap menjadi panutan di kepala saya. Dan, amanah dari orang yang memberi saya kepercayaan untuk bekerja dengan maksimal, tetap saya jaga tanpa menadah tangan pada siapapun juga (amiiin). Saya punya anak. Saya takut memberi dia secuil pun uang yang menurut ustad tausiyah masjid yang biasa saya datangi adalah "uang yang bukan hakmu, meskipun diberikan secara ikhlas oleh pemiliknya".


(mps)

Sabtu, 26 Mei 2012

when I think those words are wrong..


beberapa hari lalu saya diajak teman membicarakan sebuah lembaga pendidikan, lewat yahoo messenger. sepintas topik ini terlihat kurang serius dan sambil lalu. saya pun tetap merasa ini tak serius sampai semua sesi chatting berakhir dan saya kembali pulang dan menunggu kereta menuju bogor...

perasaan saya nggak enak, meski nggak bisa dijelaskan bagaimana. tapi saya tahu, karena topik dalam chatting tadi itulah, hati saya agak gelisah. lalu sambil terus berdiri bergelantungan dalam kereta yang penuh sesak, saya berpikir apa yang salah dengan topik itu, dan kenapa saya bisa merasa resah?

topik yang menjadi arah pembicaraan saya dan teman saya adalah tentang informasi (plus dan minus nya) bekerja di sebuah lembaga pendidikan, sebagai gutu. teman saya ini bisa dibilang dekat. saya terbiasa bicara jujur atas tema apa saja, kalau ngobrol bersama dia. mungkin dia pun tahu itulah "kelemahan" saya, makanya ia lantas menanyakan hal itu.

dia tiba-tiba bertanya apakah gampang atau susah mendapatkan pekerjaan tempat itu, dan apa saja poin positif dan negatif bekerja di sana. tempat ini adalah kantor saya sebelumnya. dan karena saya punya kecenderungan untuk menjadi kepo, saya tanya "wow. lo yang mau lamar ke sana?". teman saya ini langsung jawab kalau bukan dia yang berniat melamar ke tempat itu, tapi temannya yang baru saja kehilangan pekerjaan karena perusahaan tempat dia bekerja bangkrut. dua pertanyaan inti yang udah saya sebutkan itu kemudian saya jawab jujur sejujur-jujurnya. singkat (dalam poin-poin), tapi tanpa edit.

rupanya, jawaban saya itu langsung di-copy paste ke kolom chatting temannya teman saya itu. alias, teman saya jadi perantara pertanyaan-pertanyaan yang ingin sekali orang itu ketahui jawabannya. dan saya nggak tau. semua itu spontan begitu saja. perasaan saya terasa aneh waktu tiba-tiba tahu semua jawaban itu langsung disampaikan, tak kurang atau lebih.

memang sangat simpel sepertinya, mengetahui gampang/tidaknya menjadi bagian dari suatu perusahaan, lalu mengetahui kekurangan dan kelebihannya. tapi, yang saya sesali adalah, beberapa poin yang terlanjur saya sebutkan bukanlah hasil copy-paste yang saya dapat dari orang lain. fakta-fakta (yang kemungkinan bercampur dengan opini subyektif) adalah hasil jerih payah saya bekerja si sana, mencoba memahami budaya kerja dan budaya berbagai manusia dari berbagai belahan dunia. selain itu, ada keringat dan mungkin air mata yang saya tahan-tahan untuk secara tak sengaja mendapatkan fakta negatif yang kemudian saya tulis per poin dalam chatting tersebut. kenapa semudah itu segala fakta penting diketahui orang yang bahkan tidak saya kenal?? kenapa ada shortcut alias jalan pintas yang dengan mudahnya coba ditelusuri orang yang bahkan tidak saya tahu namanya?

teman saya berdalih, "gue nggak edit jawaban lo karena kasian dianya (temannya)". yang kemudian saya pertanyakan dalam hati adalah, "gue juga dalam keadaan kurang beruntung waktu melamar dan kebetulan diterima di tempat itu. tapi gue nggak nanya dan nggak memilah-milih. gue jalani semua yang belum diketahui. and did you care for me when I was in that kind of situation?". nah, yang kemudian saya ketahui itulah fakta yang ditulis dalam beberapa poin singkat itu. semahal itu jawaban 2 pertanyaan yang diajukan temannya teman saya. jawaban yang diperoleh dari pengalaman. tapi semudah itu pula orang yang sebenarnya sedang butuh pekerjaan itu mengetahui fakta yang mungkin membuatnya urung melamar di lembaga pendidikan itu, kemudian memilih lebih baik memperpanjang masa mengganggurnya saja. padahal mungkin ada banyak banyak fakta menyenangkan lain di lembaga itu dia belum ketahui atau terlewat di benak saya.

dan akhirnya, hal yang meresahkan pikiran saya bisa disimpulkan dalam 2 kalimat. kenapa ingin mencari "jalan pintas" untuk sebuah tujuan yang "aman" sementara ada banyak jalan lain yang panjang tapi pemandangannya indah dan berharga? dan kedua, kenapa masih memilih (ya, bertanya tentang hal-hal seputar suatu keadaan perusahaan adalah upaya "tebang pilih" dengan tujuan akhir keamanan diri sendiri) ketika sebenarnya kita nggak punya banyak pilihan?  why don't you just do it when you know you want to do it??


(250512)

Sabtu, 04 Februari 2012

yang dipertuang agung: sultan!


Sekitar setengah tahun lalu, teman-teman sebangsa saya (sewaktu saya masih di peternakan mengajar tercinta) sering membicarakan ulah seorang anak balita yang nakalnya luar biasa. parahnya, makhluk kecil itu bukan pertama kalinya bikin masalah. sudah beberapa guru menyerah. dan, kalau tidak pun, si guru yang mengajar anak-salah-didik itu bakal bete dan stres luar biasa setelah mengajar dia.

Ingat kesulitan mengajar anak balita jadi tiba-tiba ingat seorang bocah lainnya. Ia berumur 5-6tahunan yang bikin saya stres di kelas, sekitar 8-9 bulan lalu (lama yaaa). gimana bisa saya lupa. Selain karena ke"ajaib"an anak ini, dia juga punya nama yang unik. Entah karena ibunya berharap suatu saat anaknya kelak bisa jadi pemimpin, atau sekedar memberikan nama seingatnya saja, tapi faktor namalah yg membuat saya agak susah melupakan anak ini.

Namanya Sultan. Dia anak kecil bertubuh gempal yang sering heboh dengan bawaannya (yang seringkali bukan buku, tapi makanan). Padahal yang dia bawa di otaknya setelah "belajar" di kelas cuma nol. Bukannya saya jahat, tapi memang dia datang ke peternakan ajar-mengajar Pak Burhan dan komunitas jerapahnya tanpa kemampuan bahasa inggris sama sekali. Keinginan datang ke tempat belajar pun adalah hasil "paksa"an ibunya. Lucunya, bocah itu sangat pede. dia bicara dengan lantang, tanya ini-itu, dan cengengesan nggak jelas dengan bahasa indonesia.

Saya ingat hari pertama dia masuk kelas balita saya. Dia cengengesan dan langsung duduk. Sumpah deh, berkomunikasi dengan dia bikin saya ingat adegan tarzan ngomong dengan sahabat-sahabat hutannya. bedanya, tarzan udah paham situasi hutan dan jenis-jenis temannya, saya nggak. saya masih "meraba-raba" tipe murid seperti apa bocah kecil itu. Kira-kira, beginilah kejadiannya:

Bu Kancil: Hi...! What's your name??

Sultan: *cengengesan* nanananem?? hahaha! *dia malah ngulang kalimat Bu Kancil! pake ketawa pula!*

Alarm Bu Kancil langsung berbunyi. Alarm pertanda baru nemu murid jenis luar biasa.

Bu Kancil: *mencoba sekali lagi* What's yoooourr nameee? *sampe di sini masih sabar loooh*

Sultan: nananananem?? HAHAHA *ketawanya makin gede*

Sultan dan bocah2lain di kelas: AHAHAHAHAA!

Bu Kancil akhirnya sadar. Pertama, dia mulai tampak bodoh di depan murid-murid 6 tahunannya. Kedua, dalam pikirannya, 'nih semut gak ngerti bahasa jerapah sama sekali'. Bu Kancil lalu minta salah satu semut di kelas untuk nanyain nama semut baru itu. Apa boleh buat. Bu Kancil cuma boleh ngomong bahasa jerapah di kelas. Bukan bahasa orang utan.
Walhasil, Bu Kancil minta muridnya untuk nanya ke si Sultan. Dasar bocah polos, dia malah bilang namanya "Ale". Bu Kancil jadi terus-terusan manggil dia dengan panggilan "Ale" selama pelajaran itu.

Pas waktunya listening, Bu Kancil seperti biasa memutar cd, nulis halaman buku yang dibuka, dan sebagainya. Secara Sultan gak ngerti apa-apa, dia bengong doang liatin Bu Kancil mondar-mandir. Alarm Bu Kancil bunyi lagi. Kali ini pertanda "sesuatu yang nggak beres mulai terjadi".

Bu Kancil:  Ale..., it's time to write. *nunjuk ke white board*. write the alphabet on the white board

Sultan: HAAAH?

Bu Kancil: you write the alphabet *nunjuk-nunjuk white board lagi* on a piece of paper *nunjuk kertas di mejanya*

Sultan: HAAH? APA SIIH?

Tululit Tululit! Alarm Bu kancil bunyi kenceng banget. Saking kencengnya sampe mau meledak. Sepertinya udah saatnya pake bahasa Tarzan beneran. Bu Kancil sendiri nggak bisa mendefinisi apa itu bahasa Tarzan. Tapi yang perlu dilakukan tiap ketemu murid ajaib adalah berkomunikasi dengan bahasa Jerapah dicampur bahasa tubuh dan dilengkapi mimik wajah yang sesuai. Maka hasilnya adalah...

Bu Kancil: You wrrriiite in heeere *gerak-gerakin tangan di atas kertas*, write thiiiiiis *nunjuk-nunjuk white board dengan sebuah huruf yang tertulis di sana*

Sultan: OOOH TULIIIIS

Doenggg! Akhirnya...

Kelas pun berjalan dengan biasa (nggak sih, aneh sebenernya. gara-gara makhluk kecil itu) sampai saatnya pulang...

Bu Kancil: put your books in your bag.. put your books in your bag! *nyanyian wajib Bu Kancil sebelum kelas berakhir*
Semua siap, ngantre di depan pintu, dan high five dengan Bu Kancil.

Eh, tinggal satu lagi anak yang masih bengong di bangku ngeliatin temen-temennya pergi. SULTAN!

maka Bu Kancil lagi-lagi menghampiri Sultan dengan penuh kesabaran (eit, ini mah jelas bo'ong)

Bu Kancil: Ale, it's time to go hooome

Sultan: HAAH?

Bu Kancil: *nunjuk-nunjuk pintu* your friends are going home. it's time tooo gooo hooome.

Sultan tetep bengong dan duduk manis dengan selembar kertas dan pensil yang masih dia genggam.

Bu Kancil nyerah. Bahasa Jerapah bener-bener gagal dipraktekkin ke bocah ini. Maka yang kemudian Bu Kancil lakukan adalah tarik nafas dalem-dalem dan...

Bu Kancil: Pulang. *dengan nada datar*

Sultan: oh puulaaang.

Dan bocah gembil ini langsung menghampiri pintu, melupakan selembar kertas dan pensilnya. Aduuuuh! masi belom selesai penderitaan ini rupanyaaah, pikir Bu Kancil. dengan inisiatif sendiri, Bu Kancil mengambilkan semua yang masih tertinggal milik Ale, alias Sultan, alias bocah tarzan itu. Akhirnya dia pun keluar kelas dengan selamat.

Bu Kancil: *ngacak-ngacak rambut,, ketawa-ketawa sendiri, dan pingsan*

-tamat-