Minggu, 13 Juli 2014

Sebuah fase baru, hidup baru

0.14 adalah waktu yang ditunjukkan ketika gue berusaha mengetik dan menyelesaikan tulisan ini. Nggak terasa, seperti baru beberapa jam lalu gue mengucapkan kata "Ya Allah enak banget..ini masih malam Sabtu, besok dan lusa libur, trus Senin cuti!". Hm.. jadi 2x24 jam sekarang bisa disamakan dengan 15 menit ya. Benarkah demikian?

Fase hidup memang terus berputar, pasti maju, nggak pernah istirahat apalagi mundur. Ia selalu kompak dengan waktu. Buat lo, gue, dan banyak orang di dunia ini yang selalu mengeluh "kurang waktu" atau sering pakai kalimat andalan "seandainya gue punya lebih banyak waktu", stop it. Waktu itu sebenernya selalu ada, kalkulasinya nggak pernah berubah. Cara kita masing-masing dalam menggunakan waktulah yang berubah-ubah.

Gue adalah yang sempat "mencicipi" manisnya "waktu yang panjaaaang" sampai kepanjangan dan bisa "dibunuh" dengn melakukan hal-hal bodoh seperti bermain game dan baca komik dan nonton drama Jepang dan lain-lainnya. Masih bisakah sekarang gue lakukan itu semua?

Kalau menuruti "otak malas", pasti jawabannya "ah gila nggak bisaaaa!". Ya iyalah, bersantai adalah "cara kerjanya hidup pemalas, atau seenggaknya yang gak begitu malas tapi belum punya kerjaan jelas". Gue dikondisikan untuk tidak bisa lagi jadi pemalas, maka jawaban gue adalah "sayangnya nggak bisa, tapi setiap waktu yang gue habiskan sekarang berguna untuk gue dan keluarga. Ya, meski sangat..sangat melelahkan".

Kembali ke soal fase hidup, hari ini, tepatnya 6 jam kedepan adalah sebuah fase hidup baru untuk gue, yaitu menjadi orang tua murid. Iya sih, beda dari fase sebelumnya cuma di kata "murid". Tapi, ada banyak tantangan di depan yang harus gue hadapi di fase menjadi orang tuanya seorang murid bernama Elska ini. Besok boleh jadi dia baru akan mencicipi bangku playgroup. Tahun depan juga belum terlalu serius: TK. Dua tahun lagi? Ada persyaratan yang (sekarang ribetnya) harus dipenuhi untuk calon murid SD. Belum lagi masalah memperebutkan kursi murid di sekolah unggulan, berhadapan dengan wali kelas, bersedia menerima kritik dari lingkungan sekolah anak, membantu PR anak, menasehati El bahwa "mengurusi sekolah itu lebih penting" saat kelak dia sadar makhluk bernama "cowok" itu menarik, membantu mengarahkan pilihan jurusan dia saat SMA, berdebat dengan dia saat memilih jurusan kuliah, dan segudang "tantangan" lainnya.

Tapi, seberat apapun tantangan itu, gue yakin ketika pada saatnya menghadapi itu: wajah gue tersenyum. Anak gue cuma satu (dan gue nggak pernah tau seberapa besar peluang gue bisa punya anak lagi), maka fase hidup dia adalah fase hidup gue juga. Kebahagiaan dia adalah kebahagiaan gue juga. Prestasi dia adalah kebanggaan gue juga. Dan, yang terpenting, karena fase itu cuma berlangsung 1x seumur hidup, setiap jengkal fase itu adalah anugerah dan kenikmatan. Kenapa? Karena banyak diluar sana yang memohon-mohon untuk diberi kesempatan mereguk fase kehidupan di dunia, tapi Tuhan belum mengizinkannya. Banyak yang meraung-meraung meminta fase "menjadi orang tua", tapi Tuhan punya kehendak berbeda.

Memang waktu sudah menunjukkan pukul 01.47. Tapi, fase hidup gue masihlah panjang. Masih ada banyak hal keren yang akan gue hadapi dan dapatkan, jadi ada lebih banyak hal untuk jadi bahan senyuman daripada kekhawatiran. Lalu apa yang gue harus lakukan sekarang? Bukan cuma gue sih, lo juga. Kita harus sama-sama beristirahat cukup untuk memastikan besok kewarasan kita masih ada. Waras adalah cara gue mendefinisikan gabungan dari "sadar"+"khawatir"+"bahagia"+"sedih"+"penyelesaian masalah"+"tertawa". Semua unsur hidup itu akan selalu ada di setiap fase. Stop worrying and start doing. Hoaaaaahm!

Seperti..

Aku mencintaimu seperti awan
Perlahan tapi pasti bertahan dan menjadi hujan
Yang tak pernah berharap pujian
Meski hadirnya akhiri seluruh kekeringan dan muram

Aku mencintaimu seperti pelangi
Yang hadir kala harimu tak berwarna warni
Menghibur hati setiap pemujanya sebelum mentari kembali tiba
Membawa kembali jiwamu yang terbang jauh entah kemana

Aku mencintaimu seperti malam
Yang mengistirahatkan manusia dari kepenatan
Dan menempatkan kembali perasaan diatas pemikiran
Menjadi penyeimbang kala pagi belum lagi datang

Aku mencintaimu seperti embun
Sejukkan jiwa sewaktu manusia belum lagi terjaga
Sebelum kamu ingat bahwa aku ada
Lalu menghilang ketika semua kembali bergerak sempurna

Aku mencintaimu seperti gerimis
Senantiasa ada antara terik dan hujan
Yang belum mau pergi karena kerjanya sudah "dikontrak" Tuhan
Tapi tetap menetes dan membuat lara jiwamu, dia, dan mereka hilang berganti harapan

Ya, cinta itu seperti...