Senin, 11 Agustus 2014

Ya, aku butuh kamu!

Tulisan ini gue buat di sebuah tempat ramai yang logikanya membuat gue, lo, dan siapapun yang bukan penulis profesional kesulitan mendapatkan inspirasi.

Tapi.. di sinilah gue. Sesuai dengan tekad dan rencana yang udah gue buat, maka di mana pun gue berada, di situlah inspirasi bisa gue ciptakan. Jadi, gue akan membahas suatu topik itu. Ya, yang kembali menghentak pikiran gue beberapa hari lalu.

Seorang teman di tempat kerja memanggil gue ke tempatnya. Kami memang biasa bertukar cerita dan canda. Jadi memang gue nggak nyangka topik yang akan dia angkat di sore itu adalah tentang "itu".
"Hei, lo gue kenalin dengan temen gue ya. yah..paitnya aja gue langsung bilang sekarang. dia nggak ganteng. nih fotonya." teman gue menyodorkan layar gadgetnya yang sedang menampilkan foto orang yang ia maksud.

Dalam angle di foto itu, terus terang menurut gue dia nggak jelek. Mungkin belum "masuk" ke kriteria "ganteng" versi teman gue itu, tapi dalam hati gue berusaha untuk nggak menilai si cowok dalam gambar itu dari wajahnya sama sekali. Gue lebih tertarik dengan kalimat lain yang juga teman gue ucapkan setelahnya: "dia cari yang siap nikah!"

Hmm pertama, mendengar topik pembicaraan itu sebenernya bikin gue agak terharu tapi juga lucu karena gue nggak nyangka ada yang mengingat gue sampe segitunya. Dia bukan orang pertama yang tau gimana kondisi gue, tapi dia yang pertama berani mengajukan topik itu. Nggak sedikit teman dekat gue yang menghindari topik yang satu itu setiap bicara dengan gue. So, what do u think I did toward that "recommendation"?

Gue tegaskan kembali ke dia bahwa gue "punya buntut". It's true.. Nggak sedikit yang sangat mempertimbangkan masalah "status" awal calon pasangan yang pengen dinikahin. lucunya, dia malah menjawab bahwa temannya itu mencari yang siap menikah, jadi dia merasa nggak akan jadi masalah dengan adanya "buntut" ini. masalah sebenarnya adalah justru apakah anak gue akan bisa menerima "ayah" barunya. Hmm..keep that question in my mind only. Because it's me who can answer it logically.

Lagipula, masih menurut dia, bagaimanapun gue butuh seseorang yang bisa jadi tempat gue berbagi. Berbagi? Memangnya belum cukupkah sesi curhat yang selalu gue usahakan ada bersama sahabat gue? Ya, di titik itu gue tersentuh.

Gue paham banget maksud dia. hal itu bukannya nggak pernah gue pikirkan. tapi, memang gue memilih untuk nggak memikirkannya lagi. denial. gue merancang masa depan, menyusun rencana-rencana tanpa sebuah fase itu: menikah. gue takut untuk berharap lagi, gue takut bermimpi pada sesuatu yang mungkin bahkan bisa hancurin gue. ya, sebenarnya gue butuh dia. dia yang bukan cuma sahabat tapi juga teman hidup. ya, teman gue benar. I am even still denial until now. tapi gue punya alasan: bukankah seseorang tidak ingin merasa sakit lagi? Bahkan jika rasa sakit itu bisa "ditutupi" dengan bertahan dalam kesendirian. Bukankah itu juga solusi?

Gue masih amazed dengan bagaimana cara dia mengungkapkan apa yang dia pikirkan tentang gue, bagaimana dia bisa "mengenali" karakter gue, "membaca" pikiran gue, lalu mencoba "solving the puzzle" tanpa perlu banyak buang waktu.

Indeed, kamu. Dimanapun kamu berada sekarang, aku butuh kamu. Aku cuma nggak mau menghampiri kamu. Maklum lah, beberapa kali orang yang aku hampiri ternyata badut dan zombie. Aku butuh manusia, dan aku tau kamu yang benar-benar ditakdirkan untukku adalah juga manusia. Can you just take your first step to be closed to be, dimanapun kamu? Aku mungkin sudah tidak mau mencari, tapi aku yakin kalau kamu masih ingin menjajari langkah saya, berlari.

Aku tunggu kamu, ya. Awas, jangan kelamaan. :)

Kamis, 07 Agustus 2014

ketika semua harus kembali ke "letting go"


Pada lebaran minggu lalu saya menjalankan ibadah Salat Id di sebuah  masjid yang cukup dikenal di Depok: Kubah Emas. Keterlambatan kami sekeluarga saat berangkat ke masjid tersebut, ditambah banyaknya jamaah yang sama-sama hendak bersembahyang di Kubah Emas "memaksa" kami sekeluarga untuk akhirnya salat di luar bangunan masjid, bahkan diluar pagar.

Alhamdulillah, meski spot kami solat bukanlah lokasi nyaman (solat di atas jalan, tanpa alas koran), saya akhirnya bisa menikmati ceramah yang dilakukan seusai salat tersebut. Sebenarnya latar cerita tentang tema "maaf" di pagi itu bukanlah sesuatu yang baru buat saya. Tentang didatanginya seorang yang sakit oleh Rasulullah saw, meski orang yang sedang sakit itulah yang semasa sehat sering melempari Rasulullah saw dengan kotoran setiap kali beliau lewat di depan rumahnya. Sebegitu buruknya perlakuan si sakit kepada Rasulullah namun tetap dibalas dengan perlakuan sangat baik. Sebegitu ringannya Rasulullah memperlakukan orang lain yang tidak pernah memperlakukannya dengan baik, secara sangat baik.

Masih melanjutkan tema "maaf" di atas, mungkin dari cerita tentang Nabi itu sebagian dari lo akan berkata "ya jelas lah, dia kan nabi. kita cuma manusia". Oh ya, memang kita cuma manusia. Tapi, bukankah nabi pun bukan malaikat? Mereka diutus Yang Maha Kuasa untuk menjadi manusia teladan bagi manusia-manusia lain pada zamannya. Dan, Nabi terakhir yang saya dan umat agama saya percayai adalah Muhammad. Maka, apa yang ia alami berikut cara dia mengatasinya adalah "pedoman" bagi manusia di zaman kita: memaafkan.

Kembali ke Salat Id pagi itu, saat ceramah berlangsung, saya entah kenapa justru mengingat orang lain yang nggak saya sangka akan diingat. Dia sebenarnya bukanlah penjahat, begitupun bukan pelaku kejahatan bagi saya. Masalahnya, sampai di hari itu saya masih merasa belum "ikhlas" dengan apa yang telah ia lakukan pada saya. Saya merasa dia bagaimanapun sudah salah, dan sayalah korbannya. Benarkah kenyataannya demikian?

Pada dasarnya, setiap "kesialan" yang kita alami bersumber dari diri sendiri. Karena, setiap jengkal langkah kita nggak akan mengantarkan kita ke tujuan kalau hati nggak pernah ingin ke sana, juga kalau otak tak pernah menginginkannya. Nah, begitupun dengan orang yang saya anggap sudah "menyakiti" saya tersebut. Jika saya nggak pernah mengizinkan itu terjadi, tidak pernah memberi celah agar kekeliruan terjadi, jika saya benar-benar tidak pernah memikirkannya, maka segala "kesialan" itu juga nggak akan pernah saya alami. Sayalah penyebab kesedihan itu terjadi. Sedangkan, orang tersebut, meski salah tapi bukan penjahat. Ia melakukannya dengan alasan logis, dan ia sangat layak dimaafkan. Dan, ketika saya sudah secara ikhlas memaafkannya, frasa "letting go" itu benar-benar sudah terwujud. Letting go. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu, maafkan yang sudah "menyakiti"mu, jadikan kesalahanmu sebagai sumber pembelajaran, dan lanjutkan hidup sebaik mungkin. Apa? Nggak gampang? Ya iyalah. Saya kan nggak pernah bilang "letting go" itu mudah. Tapi saya ingin menegaskan (juga mengingatkan ke diri sendiri), bahwa usaha kita untuk bisa "letting go" sepenuh hati akan menghasilkan sesuatu yang juga sangat memuaskan, sangat melegakan yaitu ringannya hati. Hati yang ringan akan menjauhkan siapapun dari kesedihan dan "mengontrak" lama-lama kebahagiaan. Nggak ada satu pun orang di dunia ini yang nggak mau bahagia, kan?

Saya sejauh ini sudah menganggap apa yang pernah terjadi antara saya dan orang tersebut hanyalah bagian masa lalu yang karenanya tidak perlu "dilibatkan" lagi ke masa kini dan masa depan kita. Lagipula, kalau memang orang tersebut sebegitu berharganya untuk dipikirkan, seharusnya ia tidak menyakiti kita, seharusnya ia lebih mempertimbangkan perasaan kita. Come on..ruang hati kita jelas nggak layak diberikan ke orang yang nggak pantas memilikinya. Berikan hati dan pikiran hanya pada mereka yang juga melakukan hal yang sama pada kita. Saya dan, ya, kamu juga. Masing-masing manusia terlalu berharga untuk disakiti dengan cara apapun, kan?

Selamat "melepaskan pergi" kejelekan-kejelekan masa lalu kamu, teman. :)

Senin, 04 Agustus 2014

ditemukan: iPad!


Apa yang ada di benak lo semua ketika membaca kalimat yang jadi judul di atas di sebuah papan pengumuman? Sebagian, gue rasa, akan takjub dengan jenis benda yang diumumkan di papan tersebut. Bukan dompet (yang kadang nggak begitu bernilai karena isi uangnya mungkin nggak seberapa dan kartu ATM yang nggak secara langsung bernilai materi), bukan handphone (yang bisa ditakar berapa harganya dan hanya sedikit orang yang memiliki handphone pintar dengan harga di atas 5 juta rupiah. iPad (nggak pake mini), banyak manusia bisa menebak berapa harganya. Kembali ke sebagian orang yang akan takjub dengan jenis benda yang diumumkan, ada pula jenis orang kedua yang cenderung lebih pintar dari yang pertama. Kenapa? Karena ia melihat “cahaya terang” dari pengumuman tadi. Sesuatu yang mungkin juga dipikirkan banyak orang, tapi hanya orang dengan nyali besar yang benar-benar mampu menjalankan niatnya. Dan, apakah niat itu

“Come and get it!” bahasa kerennya. Akuin aja ke si pemilik papan pengumuman itu bahwa iPad yang ditemukan itu milik lo. Lagipula, toh si pemilik papan nggak akan benar-benar mengecek kebenaran si orang yang mengaku pemilik “barang yang ditemukan” itu. Apakah hal selicik itu bisa terjadi? Bisa banget. Tapi apa benar akhirnya terjadi? Nah, di pengalaman saya, pada layar LCD masjid tempat saya solat dan mendengarkan ceramah hampir setiap harinya itu, pengumuman “ditemukan: iPad” itu bertahan sangat lama. Begitu lamanya hingga saya merasa nyaris setahun benda itu terus diumumkan di layar yang sama. Pertanyaannya, mengapa masih ada benda berharga itu di sana? Kenapa masih belum juga ada orang yang mengakuinya? Masihkah lo percaya sebagian besar orang bahkan masih nggak kepikiran untuk mengakui benda  memang bukan miliknya?

Pengumuman “barang ditemukan: iPad” itu memang akhirnya menghilang setelah sekian lama. Tapi, eksistensinya yang nggak sebentar itu membuat saya cukup kagum betapa sebagian besar orang masih menaruh kejujurannya diatas “kesempatan” yang ada di depan mata. Lagipula, jika dipikirkan secara terbalik, kejujuran juga ada pada si penjaga masjid yang terus menerus menjaga “keimanan”nya dengan tidak gegabah memperlakukan barang temuan yang kebetulan berharga itu. Tentu akan sulit terus menjaga barang berharga milik orang lain yang ia sendiri tak pernah kenali, tanpa godaan untuk diam-diam memiliki, jika tanpa iman. 

I-m-a-n. Keimanan pada agama yang ia yakinilah yang membuat penjaga masjid itu terus mempertahankan kejujuran: tidak lelah menjaga barang temuan, tidak bosan untuk terus mengumumkan, dan tidak menyalahgunakan benda temuan tersebut. Iman jugalah yang sampai saat ini masih gue yakini sebagai “benteng” manusia untuk tetap berbicara apa adanya (tanpa unsur menyakiti hati orang lain), menjaga amanah, serta melakukan apa yang benar menurut agama yang diyakini. Kejujuran itu masih ada seandainya aja masih banyak orang melakukannya. 

Ya, jujur saja, dan hidup lo akan lebih bermakna.:)