Senin, 04 Agustus 2014

ditemukan: iPad!


Apa yang ada di benak lo semua ketika membaca kalimat yang jadi judul di atas di sebuah papan pengumuman? Sebagian, gue rasa, akan takjub dengan jenis benda yang diumumkan di papan tersebut. Bukan dompet (yang kadang nggak begitu bernilai karena isi uangnya mungkin nggak seberapa dan kartu ATM yang nggak secara langsung bernilai materi), bukan handphone (yang bisa ditakar berapa harganya dan hanya sedikit orang yang memiliki handphone pintar dengan harga di atas 5 juta rupiah. iPad (nggak pake mini), banyak manusia bisa menebak berapa harganya. Kembali ke sebagian orang yang akan takjub dengan jenis benda yang diumumkan, ada pula jenis orang kedua yang cenderung lebih pintar dari yang pertama. Kenapa? Karena ia melihat “cahaya terang” dari pengumuman tadi. Sesuatu yang mungkin juga dipikirkan banyak orang, tapi hanya orang dengan nyali besar yang benar-benar mampu menjalankan niatnya. Dan, apakah niat itu

“Come and get it!” bahasa kerennya. Akuin aja ke si pemilik papan pengumuman itu bahwa iPad yang ditemukan itu milik lo. Lagipula, toh si pemilik papan nggak akan benar-benar mengecek kebenaran si orang yang mengaku pemilik “barang yang ditemukan” itu. Apakah hal selicik itu bisa terjadi? Bisa banget. Tapi apa benar akhirnya terjadi? Nah, di pengalaman saya, pada layar LCD masjid tempat saya solat dan mendengarkan ceramah hampir setiap harinya itu, pengumuman “ditemukan: iPad” itu bertahan sangat lama. Begitu lamanya hingga saya merasa nyaris setahun benda itu terus diumumkan di layar yang sama. Pertanyaannya, mengapa masih ada benda berharga itu di sana? Kenapa masih belum juga ada orang yang mengakuinya? Masihkah lo percaya sebagian besar orang bahkan masih nggak kepikiran untuk mengakui benda  memang bukan miliknya?

Pengumuman “barang ditemukan: iPad” itu memang akhirnya menghilang setelah sekian lama. Tapi, eksistensinya yang nggak sebentar itu membuat saya cukup kagum betapa sebagian besar orang masih menaruh kejujurannya diatas “kesempatan” yang ada di depan mata. Lagipula, jika dipikirkan secara terbalik, kejujuran juga ada pada si penjaga masjid yang terus menerus menjaga “keimanan”nya dengan tidak gegabah memperlakukan barang temuan yang kebetulan berharga itu. Tentu akan sulit terus menjaga barang berharga milik orang lain yang ia sendiri tak pernah kenali, tanpa godaan untuk diam-diam memiliki, jika tanpa iman. 

I-m-a-n. Keimanan pada agama yang ia yakinilah yang membuat penjaga masjid itu terus mempertahankan kejujuran: tidak lelah menjaga barang temuan, tidak bosan untuk terus mengumumkan, dan tidak menyalahgunakan benda temuan tersebut. Iman jugalah yang sampai saat ini masih gue yakini sebagai “benteng” manusia untuk tetap berbicara apa adanya (tanpa unsur menyakiti hati orang lain), menjaga amanah, serta melakukan apa yang benar menurut agama yang diyakini. Kejujuran itu masih ada seandainya aja masih banyak orang melakukannya. 

Ya, jujur saja, dan hidup lo akan lebih bermakna.:)

Tidak ada komentar: