Selasa, 10 Mei 2011

Bun & Nting

            Pagi belum lagi menampakkan garangnya mentari waktu dia merentangkan kedua belah tangannya ke atas, seperti biasa. Lalu, setelah menopangkan kedua tangannya ke pinggang, kepalanya ia gerakkan ke samping kiri dan kanan, ke atas dan ke bawah. Selalu seperti itu. Semacam pemanasan ringan setiap pagi.
          Belum sempat aku menegurnya, ia sudah menoleh padaku dan tersenyum. Senyum paling manis yang pernah aku dapatkan dari seorang perempuan, selain ibuku pastinya.
            “Nggak sekalian terasku disapuin, Nting?” selorohku. Mencoba berbasa-basi.
            Lagi-lagi Nting cuma tersenyum. Kali ini lengkap dengan deretan giginya yang rapi. Ah, dunia rasanya jauh lebih cerah tiap kali aku melihat senyum seperti itu.
            Nting. Nama yang unik. Aku mengenalnya sejak dua bulan lalu. Tepatnya sejak ia tinggal di kontrakan petak di seberang rumahku. Awalnya aku selalu menyangkal perasaanku sendiri, bahwa aku sangat tertarik dengan si Nting. Aku merasa sangat tolol mengagumi istri Bang Rahmad itu. Seniorku di kampus dulu. Mana pernah aku sangka, akhirnya ia menikah dan memutuskan untuk menetap di daerah sekitar rumahku. Dan mana kutahu ia menikahi seorang gadis yang tipeku sekali. Nting. Ah, Nting. Nama itu selalu berputar di kepalaku tiap hari. Apalagi tiap pagi seperti ini. Saat Nting sibuk menyapu teras rumahnya, menata bunga-bunga, lalu tersenyum tiap ada tetangga lewat, terutama ibu-ibu yang sehari-harinya bekerja di rumah, seperti dia.
            Seorang pria muda berkemeja putih dan celana hitam keluar dari pintu rumah itu. Bang Rahmad. Saatnya beraksi seperti biasa. Akupun segera masuk ke dalam rumah dan mengambil sebuah buku yang baru kupinjam dari Bang Rahmad dua hari lalu.
            “Mau berangkat, Bang?” tanyaku basa-basi. Tak lupa sedikit senyum kutambahkan pada aksi kali ini.
“Menurutmu kelihatannya gimana?” Pria muda itu malah balik bertanya. Wajahnya tak lepas dari sepatunya yang sedang diikat.
“Kayaknya sih mau ngantor. Iya kan?”.
Pria putih jangkung itu lantas berdiri dan merapikan lagi kemejanya. Wajahnya yang sedari tadi serius tampak mengendur. Ditepuk-tepuknya pundakku sambil tersenyum tipis.
“Makasih Bun. Gue diingatkan yang bener. Dapet kerja secepatnya. Turunin sedikit harga.”
Aku cuma berkedip. Menyimpan kebingungan. Kenapa jawabnya begitu?
“Oh iya Bang, ini buku yang gue pinjam dua hari lalu.” Kusodorkan sebuah buku padanya.
“Cepet banget selesainya. Seingat gue, dulu waktu kuliah lo nggak suka baca buku biografi, Bun.”
Aha! Akhirnya orang ini sadar juga. Aku tidak pernah suka baca apapun kecuali buku editanku. Aku cuma mau melihat istrimu dari jarak lebih dekat, Bung.
“Gue masih punya banyak koleksi buku biografi. Masih mau pinjam yang lain?” tawar Bang Rahmad.
Aku senyum sumringah. Jalan ternyata terbuka lebih lebar dari yang kusangka.
“Boleh, Bang. Boleh. Biografi siapa aja saya mau.” Oh, aktingku semakin baik saja belakangan ini.
“Nting…! Sini sebentar…!”
Wah, sepertinya ini pertanda baik. Pasti si Nting disuruh ambil buku. Dan benar saja. Waktu Nting menampakkan batang hidungnya di depan kami berdua, Bang Rahmad menyebutkan sebuah judul buku untuk  diambil Nting. Dalam sekejap, Nting masuk ke dalam rumahnya dan kembali lagi.
“Ini Mas. Catatan Seorang Demonstran, kan.” Nting menyorongkan sebuah buku tebal lain pada suaminya.
“Kasih Bun aja. Dia mau pinjam, katanya. Oh iya, Bun, istriku Nting lulusan sastra lho. Sekali-kali ajak dia ngobrol soal apa yang baru saja kamu baca. Sekalian biar dia nggak jenuh, aku tinggal terus tiap hari.”
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya ada kesempatan ngobrol dengan Nting! Terima kasih Tuhan! Senyumkupun mengembang. Tapi jauh dalam hati, aku berharap Bang Rahmad tak sadar sinyal ini.
“Benar nih Bang, boleh ngobrol, eh maksudnya diskusiin buku sama mbak Nting?” Pertanyaan ini rasanya lebih seperti untuk diriku sendiri. Masih setengah percaya pada apa yang baru saja kudengar.
“Ya boleh, lah. Lagian gue perhatiin lo suka nggak ada kerjaannya tiap jam segini. Masih kerja freelance?”
Aku nyengir.
“Masih, Bang. Jadi editor buku.”
“Kok editor? Nggak ada yang sesuai dengan ilmu kamu? Ilmu kita?”
“Saya kebetulan mengedit, Bang. Jadi, selagi saya belum dapat kerja tetap yang sesuai dengan ilmu kita, nggak ada salahnya jadi editor, Bang.”
Bang Rahmad manggut-manggut. Maklum.
Tak berselang lama, laki-laki itu pergi juga meninggalkan aku dan Nting. Dengan ramah, Nting mempersilakan aku duduk di kursi terasnya. Tanpa ragu, aku manfaatkan detik-detik pertama dengan baik.
“Nggak jadi nyapu rumah gue, Nting?”
“Mau bayar pakai apa, gitu, kalau saya nyapu rumah kamu?”
“Pake cinta. Haha!” kumat lagi kegilaanku. Mudah-mudahan Nting tidak menganggapnya serius.
“Hari gini bayar pakai cinta. Mau makan apa, Bun?”
“Lah, mbak Nting memangnya selama ini makan pakai apa?”
Senyum Nting menghilang.
“Saya tahu, Bun, Mas Rahmad belum dapat kerjaan. Tapi alhamdulillah, ada saja rezeki yang datang untuk saya. Untuk kami.”
Aduh. Kayaknya aku salah ngomong lagi. Padahal maksudnya kan bukan itu.
“Dan satu lagi. Panggil aku Nting saja. Aku yakin banget kita seumuran. Junior berapa tahun dibawah Mas Rahmad, kamu, Bun?”
“Tiga, Nting.”
“Berarti kita seangkatan. Oh iya, kenapa nama kamu Bun, sih? Unik banget.”
“Nama gue terlalu terkesan suku tertentu, Nting. Jadinya, mending dipanggil Bun.”
“Memangnya nama kamu siapa?”
“Marbun. Tapi saya asli sunda, Nting.”
Nting tertawa.
“Nah, kalau lo, kenapa namanya Nting? Seumur hidup, baru kali ini gue ketemu perempuan yang namanya seunik itu.”
“Nama saya ranting. Alasannya, tanya aja ke orang tua saya. Mungkin mereka punya jawabannya.”
“Ranting? Hmm… unik. Gue beneran penasaran kenapa kata ‘ranting’ yang dipilih.”
Nting tersenyum tipis. Ah, sial. Aku jadi sulit berpikir kalau begini. Dan perasaan itu tiba-tiba datang lagi. Keinginan untuk mengungkapkan perasaanku pada Nting. Sekedar mengungkapkan, meski tak berharap sama sekali. Aku sadar betul, sudah tak ada peluang untuk itu.
“Ng… Nting,”
“Ya, Bun?”
“I…itu,” kata-kataku tiba-tiba saja tersendat di ujung tenggorokan.
“Itu apa? Ngomongnya kok jadi gagap?”
“Bang Rahmad tadi ngomong soal “dapet kerja. turun harga”. Gue nggak ngerti. Maksudnya apa, ya?” Ah, kenapa yang keluar malah topik itu?
“Itu lho, Mas Rahmad. Dia agak susah dapat kerja karena bersikeras mau pekerjaan yang sesuai dengan ilmunya. Seperti yang kamu tahu, Bun, peluang kerja ilmu kalian kan besar. Tapi saingannya juga nggak kalah banyak.”
Oh, jadi itu sebabnya. Orang itu memang belum berubah. Masih terlalu idealis seperti dulu.
“Padahal sebenarnya saya terima aja, apapun jenis pekerjaan dia. Apalagi waktunya kan makin dekat.” Air muka Nting berubah. Wajahnya kini menatap perutnya yang makin membesar.
“Gue…gue suka lo, Nting.” Akhirnya kata-kata ajaib itu aku ucapkan juga.
“Hah? Apa?” Nting nampak terkejut dan kembali menatapku.
“Ng..itu.. Menurut gue… ini menurut gue lho ya, kamu cantik, Nting.”
Nting tertawa singkat.
“Jangan bilang-bilang Mas Rahmad, ya.”
“Dia sudah tahu, kok.” Jawab Nting.
Aku terperanjat.
“Makanya itu dia nyuruh kamu temenin aku ngobrol.”
Aku melongo tak percaya.
“Sudah lama Mas Rahmad tahu kamu suka dengan saya. Dan sudah beberapa hari ini saya kepingin banget ngobrol dengan kamu.” Nting mengusap-usap perut buncitnya.
“Ng… ngobrol dengan saya?” tanyaku pelan. Lebih seperti pertanyaan ke diriku sendiri.
Nting mengangguk.
“Dan hebatnya, dia sangat percaya dengan saya. Sangat percaya juga dengan kamu. Makanya dia memancing kamu biar ngobrol sama saya di sini.”
Kini aku masih berkutat dengan perasaan yang bercampur aduk. Satu yang pasti, aku tiba-tiba berharap seandainya saja Nting tak berbadan dua. Aduh!
“Jangan begitu, Bun. Saya dan Mas Rahmad pengen banget punya anak, lho.” Nting berujar sambil kembali mengusap-usap perut buncitnya.
“Hah? Kok?!” aku kembali melongo bego. Sungguh unik si Nting ini. Unik sekali.
                                                                        *

Tidak ada komentar: