Senin, 12 September 2011

betmen en robin!!


betmen en robin?
salah deh. batman & robin. demikian judul film itu tertulis di tiap bentuk promosinya.

karena kita ngomongin salah satu seri film batman itu, berarti kita harus balik ke beberapa belas tahun yang lalu. 1997,


seingat saya (dan ingatan saya sampai saat ini masih lumayan tajam), film Batman & Robin dirilis tahun 1997. tepatnya petengahan 1997. berarti, saat itu saya sudah masuk smp. kelas 1. di tempat tinggal saya dahulu (catat: di tim-tim alias Timor Leste, sebuah daerah yang sudah "memerdekakan" dirinya dari Indo), sangat sulit mendapatkan majalah. majalah baru bisa dibeli di ibukota provinsi (di Dili) paling bontot Indonesia saat itu. bayangin bosley... mau beli majalah aja mesti ke ibukota provinsi!! (daerah macam apa yang bahkan nggak jual majalah??)

saya yang waktu itu berumur 12,5 tahun (umur anak nanggung penuh kegalauan dan mencari jati diri "-_-) ceritanya lagi mau bertransisi. saya mulai beli sebuah majalah remaja setelah seumur hidup terkungkung dalam sebuah majalah anak. dan karena nggak banyak pilihan, maka saya ngikutin selera kakak saya. Kawanku. majalah itu memuat undian yang mensyaratkan pengirim kartu pos (kartu pos boooo!) mengisi biodata lengkap dan menjawab pertanyaan dalam majalah dengan benar. hadiahnya? merchandise asli film Batman & Robin, pastinya. apa saya tertarik? hmm awalnya sih benar-benar nggak.

tapi memang dasar waktu itu saya suka kurang kerjaan. saya tempel juga kupon (yuuu mariii kupon, sodara-sodara!) di kartu pos, dan dengan rajinnya nyelipin kartu itu di tumpukan surat yang mau dikirim (ya, surat yang ditulis pake pulpen, di atas kertas, dimasukin dalam amplop, dan ditempel prangko ituuuh!). saya juga masih ingat. ada adegan ragu-ragu waktu sudah sampai di kantor pos dan siap mengirim. secara.. hadiahnya "cuma" merchandise film.batman pula. seonggok tokoh khayalan yang tidak pernah benar-benar saya sukai. tapi... ya sudahlah. saya kirim juga kartu pos itu.

bosley, pasti kamu udah nebak kan, gimana kelanjutan ceritanya? ya, saya lalu memenangkan undian itu. senang? nggak terlalu. lebih ke nggak nyangka aja, akhirnya bisa memenangkan sebuah undian, meski hadiahnya "cuma" kaos, mug, dan block note asli Batman & Robin. tapi ada satu hal yang kurang. benda yang seharusnya paling bisa dipakai justru nggak muat di badan saya. yup, kaos hitam bergambar wajah batman ternyata kegedean! alhasil, alm. Bapak yang kemudian memakai kaos itu.

proses dari kaos-yang-sebenarnya-punya-saya jadi dipakai orang tua itu nggak mudah. saya mesti ikhlas... menerima kenyataan bahwa kaos yang sebenarnya keren itu bukan milik saya.tapi memang dasar mama dan alm. bapak saya nggak tega melihat saya bersedih hati (yang ini emang berlebihan. tapi namanya juga abege labil.hoho!), ortupun menelepon tante saya yang berada di jakarta. semua demi biar saya dibelikan kaos Batman&Robin asli. nggak cuma itu, tante saya yang baik hati itu pun menawarkan apa kami berdua (yup, kakak saya juga kecipratan) mau dibelikan celana pendek berlabel sama. jawaban kita pasti "mau dong...!"

nggak ada masalah setelah kaos buat saya dan sepasang celana pendek berlabel Batman&Robin dengan lingkaran kecil berisi huruf TM itu sampai. jelas aja. wong kaosnya sudah disesuaikan dengan ukuran saya. yang kemudian mengesankan adalah, benda-benda lama tersebut bertahan lama, bahkan sangat lama. saking lamanya sampai saya pernah lupa memiliki benda-benda orisinil itu dari masa lampau. block note, walau sebagian besar isinya sudah terbuang, masih saya simpan (karena memang bagus dan saya suka saja menyimpannya), mug sudah pecah sejak saya belum menginjak universitas (sebelum tahun 2004). itu pun karena ketidaksengajaan mama. dan itu pun dengan penyesalan mama yang mendalam, karena beliau tahu saya sangat sayang dengan mug batman itu. kaos kecil saya sepertinya sudah dihibahkan ke orang lain. karena bahkan saya sudah nggak ingat letaknya di mana. dan nggak ingat kapan terkhir kali memakainya. tapi pasti lebih dari 5 tahun lalu, karena kaos itu cenderung kecil untuk ukuran orang dewasa (ya iyalah..)

yang terakhir adalah celana pendek. seingat saya, yang membedakan celana pendek Batman & Robin milik saya dan kakak saya adalah warna tulisannya. milik saya berwarna keunguan, dan milik Kakak biru. yang punya saya justru sudah nggak jelas di mana letaknya. yang masih tersimpan rapi di lemari justru celana pendek dengan tulisan berwarna biru, dan baru saja saya pakai hari ini (ya, benda ini sudah lama sekali dia abaikan :) ). ya, saya pakai lagi celana itu dengan senyuman. senyuman karena mengingat cerita panjang yang saya punyai dengan celana pendek hitam-putih bertuliskan Batman & Robin ini. cerita penuh kenangan tentang saya, alm. Bapak yang sangat saya sayangi (dan saya rindukan), dan seluruh keluarga saya yang menghabiskan hampir separuh hidup mereka untuk merantau dan tetap menikmati apapun kekurangan dan keterbatasan yang ada.

dan saya sangat bersyukur memiliki mereka :)

(Bogor, 10 September 2011)

Kamis, 16 Juni 2011

suka suka gue, kaleee!

iiiiih, kamu rese banget siiiiih!
eits, judulnya nyolot, ya? saya ngajakin berantem? nggak, bosley, nggak kok. berantem untuk alasan yang kurang penting cuma ngabis-ngabisin waktu. saya lagi ingat beberapa peristiwa yang terjadi di lingkaran hidup saya akhir-akhir ini, dan ingat gimana saya dulu. sebelum punya anak. sebelum saya melihat hidup dan dunia ini dari sudut pandang berbeda. sebelum saya sadar, kalau kata-kata yang jadi judul tulisan ini ternyata salah.

'suka-suka gue' sering dipakai untuk mengungkapkan ketidaksukaan seseorang bila menemui orang lain yang ikut campur dengan urusannya. baik itu sekedar berkomentar, atau yang ekstrim, ikutan mengobrak-abrik urusan orang, tanpa diminta orang yang  bersangkutan. kalau urusan si orang itu menulis, maka si tukang ikut campur bakal "membantu" menulis untuk orang bermasalah itu. begitu pun kalau masalah orang itu melompat, maka si tukang ikut campur bakal ikut melompat, walau gak diminta si empunya masalah.

kenapa kita begitu nggak nyaman dengan orang-orang yang mencampuri urusan kita? ya karena menurut kita, kita lah yang mengerti gimana permasalahan yang sesungguhnya. sepintar-pintarnya orang lain memberi komentar, saran, atau ikutan nimbrung permasalahan orang, tetap saja mereka nggak akan mengerti rasanya menjadi kita, si empunya masalah. jadi, buat yang suka berkomentar dan memandang aneh kita, si empunya masalah, ingin sekali berteriak ke tukang ikut campur itu. "gue berhak nentuin hidup gue sendiri, dan ini masalah gue! ngapain lo yang rese!"

kecenderungan berprinsip "hidup ya hidup gue, masalah ya masalah gue" memang ciri khas anak muda banget.      ya, termasuk seumur saya. masa-masanya manusia sedang merasa ingin benar-benar bebas, merasa paling tahu, tak ingin digurui, tak ingin dihakimi, bahkan ketika orang itu benar-benar sedang salah. malah, saking ngototnya, seseorang bisa mencampur adukkan yang salah dengan yang benar, lalu menciptakan ruang "abu-abu", sebagai dalih untuk membenarkan yang salah, dan menyalahkan yang benar.

akhirnya, kalimat "suka suka gue, kaleee!" jadi pilihan waktu seseorang merasa area "abu-abu" buatannya terusik. ketika sesuatu yang diperbuatnya dikritik, ketika ada sutradara sukarela baru yang tiba-tiba mencampuri drama hidupnya. terus, kenapa akhirnya saya merasa kalimat ini salah? hmm.. menurut saya sih, kalimat ini sering digunakan untuk waktu dan tempat yang salah. benar sekali, setiap orang berhak mengurusi masalahnya sendiri. benar juga, bahwa setiap orang tidak berhak mengomentari, mengkritik, apalagi mencampuri urusan yang tidak ada hubungan dengan dirinya sendiri. tapi, sekali lagi, kalau nggak ada hubungannya dengan dirinya sendiri loh.

masalah pribadi akan jadi masalah umum kalau sudah mulai mengusik dan merugikan banyak orang. dari mana kita tahu sudah mulai jadi masalah umum? dari kuantitas kritikan yang sering kita abaikan itu!
misalnya, ada tetangga kita yang namanya Cahaya. si Cahaya yang doyan beli barang-barang serba berkilau ini baru beli motor baru. warnanya perak metalik! orang pertama yang mengkritik Cahaya adalah si Suram, yang nggak suka segala sesuatu yang terang benderang, termasuk motor skuter matik Cahaya yang bikin Suram silau setengah mati. begini kira-kira reka dialognya:

Suram: Cahaya, sekali-kali beli sesuatu warna hitam,kek. pusing, tau,ngeliatin tetangga macam lo yang barang-barangnya bling-bling melulu. Hitam keren lagi,Ya...
Cahaya: yah, Ram, lo sih, gue beli mukena putih juga lo suruh ganti ke warna item,kali..

Besoknya, bukan cuma Suram yang protes ke si Cahaya. nenek sebelah rumah Cahaya juga mulai ngedumel. begini kira-kira isi kicauannya:

Nenek Reot: buset dah tu si Cahaya. nggak kurang mengkilap apa motornya. gue ampe suse jalan gara-gara kesilauan. lagian, ude tau kampung ini banyak nenek-nenek rabunnya. dia masih aja beli barang yang bikin kita pada susah melihat!

Cahaya nggak berani ngelawan kicauan Nenek Reot. Tapi bukannya karena sadar, dia cuma nggak mau nenek-nenek sekampung gebukin dia aja. Maka, pas di depan Nenek Reot,dia bilang:
"Tapi kalo nenek pake kaca mata item,nggak bakal silau, kan. kaca mata item nggak mahal kok Nek, harganya."

Bukannya minta maaf, Cahaya malah membela tindakan salahnya. Cahaya seolah nggak mau tau kesusahan yang dirasakan para tetangga di kampungnya.

besoknya lagi, ada pasangan kakek-nenek yang menegur Cahaya. Ramah, dan nggak langsung mengkritik.

Kakek Tuir: Cahaya, mau ke kampus ya? Bagus motornya.
Nenek Tuir: Iya, Nak, saking bagusnya, sampai saya terpeleset kemarin sore,waktu ngeliatin motor Cahaya yang meriah. Maklum,mata saya udah nggak kuat melihat yang terlalu terang.
Cahaya: (dengan tampang sebel karena abis dikritik, dan nggak peduli karena merasa keluhan pasangan tua itu NGGAK ADA HUBUNGANNYA dengan diri dia) Saya masih punya sepasang kacamata hitam, Nek.yang satu saya tinggal di rumah. yang satu lagi, kebetulan saya bawa. Nih,saya kasih satu aja ke Nenek. Eh?tadi katanya siapa yah, yang beneran jatuh? Nenek apa Kakek?

*gubrak!! kok malah jadi ngasih kaca mata*

Nah, kalau dihitung-hitung, sudah 4 orang yang mengkritik Cahaya. yang ke-1 adalah temennya yang sudah sangaaaaat biasa mengkritik. sisanya adalah orang lain yang nggak pernah mengkritik Cahaya sebelumnya. Lalu, apa semua itu bisa dibilang ikut campur? terus, kritik mana yang beneran harus didengarkan?

Saya rasa, yang baca tulisan ini sudah cukup cerdas untuk menilai, jenis kritikan mana yang membangun, mana yang nggak. kita sama-sama tahu, orang sirik pasti bawaannya mengkritik melulu. bukan untuk membangun, tapi untuk menjatuhkan. itulah jenis si Suram. lain halnya dengan para kakek nenek yang protes ke Cahaya. mereka jelas orang-orang yang dirugikan dari perilaku "suka suka gue" Cahaya. kritik seperti ini yang harus didengar. karena,mereka mengkritik bukan karena suka melakukannya, tapi terpaksa. mereka orang-orang baik yang nggak akan mengkritik, kalau nggak ada yang mengganggu.

Sarapnya, si Cahaya malah membela kesalahan yang dilakukannya dengan mengalihkan isu (jiaelah,gaya bgt bahasa gue), dari yang harusnya motor metalik jadi kacamata item. parahnya lagi, dia berhasil membelokkan tersangka, yang harusnya dirinya sendiri jadi orang lain (si Kakek Nenek). Dia menumbuhkan rasa bersalah, seoah gara-gara Kak Nenek itu sendiri makanya tragedi kepeleset terjadi.

jadi, apa kita termasuk golongan si Cahaya? Suram? atau pasangan kakek-nenek? jawabannya pasti kita sendiri yang paling tahu. saya yakin, salah satu fungsi hati nurani yang ada pada manusia adalah untuk berintrospeksi. Berkaca dan memahami diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain yang (kelihatannya) kurang suka pada apa yang kita lakukan. Apalagi kalau jumlah kritiknya sudah banyak dan masih juga bilang, "suka-suka gue, kaleee!". Kewarasan kita (saya dan anda, yang baca tulisan ini) rasanya patut diragukan karena nggak sadar-sadar juga dengan kesalahan sendiri, yang meresahkan orang lain dan membuat diri kita dikritik.

selamat mengkritik diri sendiri! hidup kritik kentang!

Selasa, 10 Mei 2011

lapor bos, bu kancil gak bisa curi ketimun!


pernah ketemu rekan di tempat kerja yang gak bisa diprediksi (baca: lain di mulut lain di hati)?. yah, tadinya manusia semacam itu cuma saya baca di majalah. ada banyak tips untuk menghindar, mengatasi, atau bahkan membasmi serangga kantor macam begini. itu cuma teori. prakteknya? wow..susah sekali. apalagi kalau anda termasuk tipe sensitif yang sedikit-sedikit dibawa ke perasaan seperti saya ini. padahal saya sudah tahu, orang itu tidak pakai perasaan. jadi, kenapa saya harus pakai perasaan?

sebelum saya cerita, mari kita kenali dulu tokoh-tokoh utama cerita ini.
1. Bu Kancil: ibu guru yang mengajar kelas semut sampai gajah di negeri jerapah
2. Pak Burhan (burung hantu). pemilik ladang, empunya kebun,persawahan, peternakan.
3. Kuda Nil: penghuni kolam lumpur sebelah, yang kerjanya lirak lirik kebun Pak Burhan dan nguap lebar melulu. karena cuma itu yang dia bisa

Alkisah, di sebuah negeri jerapah, hiduplah Bu Kancil yang hobinya ngemil, Pak Burhan yang kerjanya memantau dan terbang sana-sini, dan kuda nil, penghuni kolam lumpur pak burhan.
di tengah hari bolong, pas Bu Kancil lagi asik-asiknya menyantap makan siang, datangnya Pak Burhan, yang kali nongol tanpa terbang.

Pak Burhan: Bu..Bu... saya dapet laporan dari Kuda Nil, katanya Bu Kancil gak bisa melompat ya?

Bu Kancil: *bingung* hah? Bapak minta saya melompat? saya bisa kok, nih saya tunjukin (bersiap gerakan melompat). lagian saya nggak bisanya dulu, sebulan lalu. sekarang mah udah, bapak...

Pak Burhan: Bukan itu maksud saya... ehm.. ada buku gak.. buku...?

Bu Kancil: *masih bingung* hah? kertas aja nih, ada.

Dalam hatinya, Bu Kancil mikir, kalo cuma ngejelasin sesuatu, mestinya gak harus pake buku dong... apalagi buku cetak. Cukup kertas dan bolpoin. Walaupun ngejelasin pake kertas dan bolpoin itu, menurut Bu Kancil adalah sejenis cara berkomunikasi yang gak jauh-jauh dari Tarzan yang masih belum jinak lagi ngomong sama Jane untuk pertama kalinya. Balik lagi ke cerita, eh ternyata jawaban Pak Burhan malah...

Pak Burhan: bukan... ambil aja 1 buku cara melompat. nah.. nah.. yang itu. ambil sini.

Bu Kancil pun ngasih buku yang diminta. Lalu, Pak Burhan membuka sebuah bab.

Pak Burhan: Jadi.... kalo kamu udah selesai baca bab1, kamu lanjut lagi baca bab2.

Dalam hati Bu Kancil menggerutu. 'yaelah bos... anak orok juga tau kaleeee.'

Pak Burhan: Nah, kalo sampe Bab 2 kamu harusnya udah ngerti cara melompat.

Bu Kancil ngangguk-ngangguk sambil bilang "iya..iya."

Pak Burhan: Jadi kamu udah ngerti ya?
Gubrak!

Bu Kancil: *hell yeah!* iya bos! kan saya udah bilang, dari sebulan lalu juga udah ngerti.

Pak Burhan: ya udah kalo gitu.
Dan dia pun ngeloyor pergi.

Baru beberapa detik Pak Burung Hantu keluar, dia masuk ke kandang Bu Kancil lagi.

Pak Burhan: Eh, tadi kamu bilang, udah berapa lama tahu?

Bu Kancil: sebulan bos, sebulan.... *nahan sabar sama nahan nafsu. persis kayak bulan puasa*
Dan bos Burhan pun pergi lagi.

Tinggallah Bu Kancil yang ternganga-nganga. nyaris nggak percaya apa yang baru aja didengarnya. Kancil dituduh gak bisa lompat?? sama aja kayak curiga kuda gak bisa lari dan ikan gak bisa berenang, ya?

sungguh kecurigaan yang aneh. Bu Kancil gak nyalahin pak burhan. secara dia cuma memproses laporan. tapi Bu kancil jelas keganggu sama berat badan, eh, tingkah Kuda Nil yang kurang kerjaan. rese minta ampun. bisaaaa aja nyari-nyari kesalahan orang, eh, Kancil.

gak berapa lam, Bu Kancil keluar kandang. Nyari minum. eh, pucuk dicinta, petaka pun tiba, berapapasan lah Bu Kancil dengan Kuda Nil di ambang pintu dapur. Kuda Nil yang berbadan penuh, pasti selalu menghalagi jalan, kao berani-berani berdiri di tengah pintu. dengan sedikit salah tingkah, Bu Kancil ke kanan. Eh, Kuda Nil ikut ke kanan. Terus, dia yang ke kiri, Bu Kancil malah ikut ke kiri. salah tingkah, Kuda Nil balik ke kanan. EH...Bu Kancil ikut ke kanan. Walhasil, gak ada satu pun yang berhasil masuk maupun keluar. tak disangka tak dinyana, keluar juga kta-kata Kuda Nil.

Kuda NIl: Eh! hahahaha! *lucu sendiri karena gw gak merasa itu cukup lucu buat diketawain*

Pas akhirnya Bu Kancil berhasil masuk ke dapur, tanpa buang-buang waktu lagi, gue Huweeek! Tenang aja. Cuma muntahan pikiran, kok. Nggak beneran muntah ngeluarin makanan. Bu Kancil cuma terlalu eneg aja sama Kuda Nil itu.

Jadi lucu aja. Begini toh, rasanya ditusuk dari belakang. sama orang yang bisa pasang tampang super manis tapi bawa belati tajam di belakang.

Saya sendiri gak pernah ngalamin kayak gini sebelumnya. Tapi sekalinya ngalamin... wow rasanya dahsyat. dan secara pribadi, saya gak pernah bisa pasang tampang jutek sama orang yang penyayang, begitupun gak bisa cengar-cengir di depan  orang nyebelin.

Bun & Nting

            Pagi belum lagi menampakkan garangnya mentari waktu dia merentangkan kedua belah tangannya ke atas, seperti biasa. Lalu, setelah menopangkan kedua tangannya ke pinggang, kepalanya ia gerakkan ke samping kiri dan kanan, ke atas dan ke bawah. Selalu seperti itu. Semacam pemanasan ringan setiap pagi.
          Belum sempat aku menegurnya, ia sudah menoleh padaku dan tersenyum. Senyum paling manis yang pernah aku dapatkan dari seorang perempuan, selain ibuku pastinya.
            “Nggak sekalian terasku disapuin, Nting?” selorohku. Mencoba berbasa-basi.
            Lagi-lagi Nting cuma tersenyum. Kali ini lengkap dengan deretan giginya yang rapi. Ah, dunia rasanya jauh lebih cerah tiap kali aku melihat senyum seperti itu.
            Nting. Nama yang unik. Aku mengenalnya sejak dua bulan lalu. Tepatnya sejak ia tinggal di kontrakan petak di seberang rumahku. Awalnya aku selalu menyangkal perasaanku sendiri, bahwa aku sangat tertarik dengan si Nting. Aku merasa sangat tolol mengagumi istri Bang Rahmad itu. Seniorku di kampus dulu. Mana pernah aku sangka, akhirnya ia menikah dan memutuskan untuk menetap di daerah sekitar rumahku. Dan mana kutahu ia menikahi seorang gadis yang tipeku sekali. Nting. Ah, Nting. Nama itu selalu berputar di kepalaku tiap hari. Apalagi tiap pagi seperti ini. Saat Nting sibuk menyapu teras rumahnya, menata bunga-bunga, lalu tersenyum tiap ada tetangga lewat, terutama ibu-ibu yang sehari-harinya bekerja di rumah, seperti dia.
            Seorang pria muda berkemeja putih dan celana hitam keluar dari pintu rumah itu. Bang Rahmad. Saatnya beraksi seperti biasa. Akupun segera masuk ke dalam rumah dan mengambil sebuah buku yang baru kupinjam dari Bang Rahmad dua hari lalu.
            “Mau berangkat, Bang?” tanyaku basa-basi. Tak lupa sedikit senyum kutambahkan pada aksi kali ini.
“Menurutmu kelihatannya gimana?” Pria muda itu malah balik bertanya. Wajahnya tak lepas dari sepatunya yang sedang diikat.
“Kayaknya sih mau ngantor. Iya kan?”.
Pria putih jangkung itu lantas berdiri dan merapikan lagi kemejanya. Wajahnya yang sedari tadi serius tampak mengendur. Ditepuk-tepuknya pundakku sambil tersenyum tipis.
“Makasih Bun. Gue diingatkan yang bener. Dapet kerja secepatnya. Turunin sedikit harga.”
Aku cuma berkedip. Menyimpan kebingungan. Kenapa jawabnya begitu?
“Oh iya Bang, ini buku yang gue pinjam dua hari lalu.” Kusodorkan sebuah buku padanya.
“Cepet banget selesainya. Seingat gue, dulu waktu kuliah lo nggak suka baca buku biografi, Bun.”
Aha! Akhirnya orang ini sadar juga. Aku tidak pernah suka baca apapun kecuali buku editanku. Aku cuma mau melihat istrimu dari jarak lebih dekat, Bung.
“Gue masih punya banyak koleksi buku biografi. Masih mau pinjam yang lain?” tawar Bang Rahmad.
Aku senyum sumringah. Jalan ternyata terbuka lebih lebar dari yang kusangka.
“Boleh, Bang. Boleh. Biografi siapa aja saya mau.” Oh, aktingku semakin baik saja belakangan ini.
“Nting…! Sini sebentar…!”
Wah, sepertinya ini pertanda baik. Pasti si Nting disuruh ambil buku. Dan benar saja. Waktu Nting menampakkan batang hidungnya di depan kami berdua, Bang Rahmad menyebutkan sebuah judul buku untuk  diambil Nting. Dalam sekejap, Nting masuk ke dalam rumahnya dan kembali lagi.
“Ini Mas. Catatan Seorang Demonstran, kan.” Nting menyorongkan sebuah buku tebal lain pada suaminya.
“Kasih Bun aja. Dia mau pinjam, katanya. Oh iya, Bun, istriku Nting lulusan sastra lho. Sekali-kali ajak dia ngobrol soal apa yang baru saja kamu baca. Sekalian biar dia nggak jenuh, aku tinggal terus tiap hari.”
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya ada kesempatan ngobrol dengan Nting! Terima kasih Tuhan! Senyumkupun mengembang. Tapi jauh dalam hati, aku berharap Bang Rahmad tak sadar sinyal ini.
“Benar nih Bang, boleh ngobrol, eh maksudnya diskusiin buku sama mbak Nting?” Pertanyaan ini rasanya lebih seperti untuk diriku sendiri. Masih setengah percaya pada apa yang baru saja kudengar.
“Ya boleh, lah. Lagian gue perhatiin lo suka nggak ada kerjaannya tiap jam segini. Masih kerja freelance?”
Aku nyengir.
“Masih, Bang. Jadi editor buku.”
“Kok editor? Nggak ada yang sesuai dengan ilmu kamu? Ilmu kita?”
“Saya kebetulan mengedit, Bang. Jadi, selagi saya belum dapat kerja tetap yang sesuai dengan ilmu kita, nggak ada salahnya jadi editor, Bang.”
Bang Rahmad manggut-manggut. Maklum.
Tak berselang lama, laki-laki itu pergi juga meninggalkan aku dan Nting. Dengan ramah, Nting mempersilakan aku duduk di kursi terasnya. Tanpa ragu, aku manfaatkan detik-detik pertama dengan baik.
“Nggak jadi nyapu rumah gue, Nting?”
“Mau bayar pakai apa, gitu, kalau saya nyapu rumah kamu?”
“Pake cinta. Haha!” kumat lagi kegilaanku. Mudah-mudahan Nting tidak menganggapnya serius.
“Hari gini bayar pakai cinta. Mau makan apa, Bun?”
“Lah, mbak Nting memangnya selama ini makan pakai apa?”
Senyum Nting menghilang.
“Saya tahu, Bun, Mas Rahmad belum dapat kerjaan. Tapi alhamdulillah, ada saja rezeki yang datang untuk saya. Untuk kami.”
Aduh. Kayaknya aku salah ngomong lagi. Padahal maksudnya kan bukan itu.
“Dan satu lagi. Panggil aku Nting saja. Aku yakin banget kita seumuran. Junior berapa tahun dibawah Mas Rahmad, kamu, Bun?”
“Tiga, Nting.”
“Berarti kita seangkatan. Oh iya, kenapa nama kamu Bun, sih? Unik banget.”
“Nama gue terlalu terkesan suku tertentu, Nting. Jadinya, mending dipanggil Bun.”
“Memangnya nama kamu siapa?”
“Marbun. Tapi saya asli sunda, Nting.”
Nting tertawa.
“Nah, kalau lo, kenapa namanya Nting? Seumur hidup, baru kali ini gue ketemu perempuan yang namanya seunik itu.”
“Nama saya ranting. Alasannya, tanya aja ke orang tua saya. Mungkin mereka punya jawabannya.”
“Ranting? Hmm… unik. Gue beneran penasaran kenapa kata ‘ranting’ yang dipilih.”
Nting tersenyum tipis. Ah, sial. Aku jadi sulit berpikir kalau begini. Dan perasaan itu tiba-tiba datang lagi. Keinginan untuk mengungkapkan perasaanku pada Nting. Sekedar mengungkapkan, meski tak berharap sama sekali. Aku sadar betul, sudah tak ada peluang untuk itu.
“Ng… Nting,”
“Ya, Bun?”
“I…itu,” kata-kataku tiba-tiba saja tersendat di ujung tenggorokan.
“Itu apa? Ngomongnya kok jadi gagap?”
“Bang Rahmad tadi ngomong soal “dapet kerja. turun harga”. Gue nggak ngerti. Maksudnya apa, ya?” Ah, kenapa yang keluar malah topik itu?
“Itu lho, Mas Rahmad. Dia agak susah dapat kerja karena bersikeras mau pekerjaan yang sesuai dengan ilmunya. Seperti yang kamu tahu, Bun, peluang kerja ilmu kalian kan besar. Tapi saingannya juga nggak kalah banyak.”
Oh, jadi itu sebabnya. Orang itu memang belum berubah. Masih terlalu idealis seperti dulu.
“Padahal sebenarnya saya terima aja, apapun jenis pekerjaan dia. Apalagi waktunya kan makin dekat.” Air muka Nting berubah. Wajahnya kini menatap perutnya yang makin membesar.
“Gue…gue suka lo, Nting.” Akhirnya kata-kata ajaib itu aku ucapkan juga.
“Hah? Apa?” Nting nampak terkejut dan kembali menatapku.
“Ng..itu.. Menurut gue… ini menurut gue lho ya, kamu cantik, Nting.”
Nting tertawa singkat.
“Jangan bilang-bilang Mas Rahmad, ya.”
“Dia sudah tahu, kok.” Jawab Nting.
Aku terperanjat.
“Makanya itu dia nyuruh kamu temenin aku ngobrol.”
Aku melongo tak percaya.
“Sudah lama Mas Rahmad tahu kamu suka dengan saya. Dan sudah beberapa hari ini saya kepingin banget ngobrol dengan kamu.” Nting mengusap-usap perut buncitnya.
“Ng… ngobrol dengan saya?” tanyaku pelan. Lebih seperti pertanyaan ke diriku sendiri.
Nting mengangguk.
“Dan hebatnya, dia sangat percaya dengan saya. Sangat percaya juga dengan kamu. Makanya dia memancing kamu biar ngobrol sama saya di sini.”
Kini aku masih berkutat dengan perasaan yang bercampur aduk. Satu yang pasti, aku tiba-tiba berharap seandainya saja Nting tak berbadan dua. Aduh!
“Jangan begitu, Bun. Saya dan Mas Rahmad pengen banget punya anak, lho.” Nting berujar sambil kembali mengusap-usap perut buncitnya.
“Hah? Kok?!” aku kembali melongo bego. Sungguh unik si Nting ini. Unik sekali.
                                                                        *

Minggu, 10 April 2011

seperti tiang pancang, harus selalu kuat

belakangan ini saya sering dihinggapi rasa sensitif yang agak berlebihan. sedikit-sedikit, kesal. sedikit-sedikit, marah. sedikit-sedikit, tau-tau air mata mengalir begitu saja. seperti ada bongkahan besar beban yang belum keluar dari kepala, dan bikin sesak, jadi kalau ada bongkahan kecil lain masuk, rasanya langsung penuh, dan otak saya tau-tau langsung mumet, hati langsung keruh.


tak masalah kalau ini semua nggak berdampak pada nafsu makan saya. sayang sekali, setiap saya tersinggung, kesal, dan hati benar-benar "menyimpan"nya dengan baik, rasa lapar yang sudah tertahan berjam-jam pun bisa hilang. lagi-lagi saya tidak nafsu makan.


jauh di dalam hati, saya ngerti kalau jumlah asupan makanan saya berpengaruh pada jumlah makanan Elska. makanan utamanya. ASI nya. sayang sekali kalau anugerah yang udah dikasih Allah, untuk "my alive treasure" itu enggak dipertahankan dengan bijaksana. kasihan sekali Elska, kalau tiap malam saya sensitif, ia yang harus tidak puas makan karena jumlahnya kurang, di esok paginya.
awalnya saya cuek saja. mengikuti mau sendiri.tapi lama-lama saya sadar juga. kesensitifitasan saya adalah awal hancurnya tiang saya sendiri.


saya adalah penopang hidup anak, jadi kalau mental saya lemah, perasaan saya labil, tindakan saya egois, yang terkena dampak terbesar pasti El.apa jadinya kalau saya terus-menerus menyimpan kekesalan dan bertahan tidak makan seharian penuh? apa jadinya kalau saya sakit dan lemah? korban utamanya pasti El. awalnya dia bakal kehilangan haknya, asupan gizi alami terbaiknya, asi, lalu berturut-turut hilang pula perhatian dan penjagaan 24jam saya karena sakit. begitu panjang dampaknya. begitu besar akibatnya.
saya adalah tiang pancang diri sendiri dan anak. jadi harus selalu, selalu, dan selalu kuat. bukan hanya fisik, tapi batin. mungkin malah batin yang terutama. karena kesehatan jiwa dan hati sangat mempengaruhi kualitas kesehatan fisik. semuanya harus sehat dan seimbang. fisik, mental, dan hati. sumbernya masing-masing ya dari makanan dan pola hidup sehat, pikiran positif, berteman dan bercengkerama dengan orang-orang yang membawa nilai positif, dan tentunya mempertinggi kualitas hubungan dengan Dia. karena cuma Dia yang bisa "menciptakan ujian" sekaligus "kunci jawabannya". Subhanallah!


saya nggak minta apa-apa, teman-teman. cukup doa saja. kalau tak bisa, cukup beberapa kata penyemangat saja. kalau tak bisa, cukup senyuman saja. itu saja sudah sangat menguatkan tiang saya. tiang yang selama ini saya pancang dan saya pertahankan sendirian.


sebenarnya, saya cinta banget kok dengan hidup saya. :)


(bogor, 10 april 2011)

Minggu, 30 Januari 2011

mbak, saya mau beli pasir buat muka mbak!

pasir? kenapa harus pasir? karena banyak benda di sekitar kita yang bentuknya mirip pasir, tapi jelas bukan pasir! jadi kenapa harus bingung kalau ketemu kata yang ada pasirnya??


sore ini saya pergi berbelanja dengan mama. namanya juga perempuan, selalu tertarik dengan segala sesuatu yang ada tulisan "sale", "diskon", "gratis", dan sejenisnya. tulisan seperti itu juga saya temui di supermarket ini (ya kalo ini beneran bisa dibilang "super" ya.). tulisan itu menyebutkan, membeli produk tertentu sejumlah tertentu akan mendapatkan gula pasir 1 kg. hm.. lumayan juga ya. gula pasir 1 kilo udah nggak dapet 10ribuan lagi harganya.


karena kebetulan saya juga mau beli produk itu, saya genapin aja jumlahnya sampai dengan nominal minimum agar bisa mendapatkan pasir, eh, gula pasir. sampai di kasir, saya udah punya perasaan gak enak. pertama, dari empat kasir, yang dibuka cuma dua. jadi yang ngantri ya banyak. kedua, saya lihat si mbak2 kasirnya bertampang gak ramah. u know, sering kita keburu menilai orang dari tampangnya. tapi beneran deh. buat yang 1 ini, perasaan saya kuat sekali kalau mbak kasir itu orang yang menyebalkan.


bener aja. waktu giliran belanjaan saya dihitung, saya mengkonfirmasi pasir, eh, gula pasir gratisan itu. begini kira-kira reka kejadiannya (jiaaaah!)


buKancil: mbak, kalau beli blah blah blah dapet gula pasir 1 kg kan?
mbakjutekjeleksokcantik: hah? apa?
buKancil: bleh bleh bleh (gak perlu diulang dong, wong sama aja kok kalimatnya)
mbakjutekjeleksokcantik: pasir? apa sih?
buKancil: gula pasir
mbakjutekjeleksokcantik: oh, nggak tau. bayar dulu nih *sambil nunjuk angka dalam layar di mesin kasir*


anjrit. saya diperlakukan mirip pengutil yang ketauan ngutil tapi mangkir trus gamau bayar, yang dalam bayangan saya seperti ini


pengutil: mbak, beneran deh saya tuh nggak mengutil, cuma mengecil
mbak kutil: hah? hapah?
pengutil: saya mengecil. bukan mengutil. liat aja rak obat kutil, nggak ada yang ilang kan?
mbak kutil: kutil? emang saya punya kutil kok. semua juga tau, nggak usah dibahas. mending kamu bayar barang curian kamu. bayaaaaaar!


kalimat terakhir dari si mbak prikitil kutil itu adalah dia gak tau menau hal begituan. itu bukan bagian dari supermarket (baca: Ramayana), dan tanya aja langsung ke spg produknya. itupun dia ucapkan setelah seorang temennya bilang kalo ada promosi pasir2an, eh gula pasir di konter blah blah.


hedeeew, emosi lah saya. tapi gapapa lah. saya tetap berjalan dengan sabar menuju konter produk yang dituju, berharap mbak kutil itu jujur dengan kata "spg"nya, karena seingat saya nggak ada satupun spg produk tertentu. yang ada hanya spg umum untuk superkampret, eh, supermarket itu.


meski dengan hati dongkol, saya bisa juga menemui spg supermarket yang jauh lebih ramah dan bertanggungjawab daripada si mbak kutil, dan mendapatkan pasir2an, eh, gula pasir yang saya butuhkan.


terus kenapa saya masih mengomel?
karena saya sudah lama sekali merasa tak nyaman dengan supermarket itu. kehadiran saya di sana sore ini juga karena terpaksa. ngikutin mau mama.


ada hal2 vital yang sangat salah dengan tempat belanja itu


1. spg atau spb-nya tidak menarik dan tidak profesional.
jarang saya temui spg atau spb-nya menarik secara fisik. jangankan menarik. berusaha terlihat menarik pun nggak. ada yang dandan seadanya lah, rambut dan bajunya kurang rapi lah, judes lah, dll. saya bicara soal fisik dan penampilan karena mereka representasi perusahaan secara langsung. kalau mereka saja nggak berusaha terlihat menarik, bisa ditebak bagaimana pimpinannya, atau bagaimana manajemennya kurang serius melayani pelanggan dengan baik.
tidak profesional karena mereka sering kelihatan nggak punya waktu lain untuk mengurusi masalah mereka masing-masing kecuali saat bekerja. curhat itu asik. tapi mereka nggak dibayar untuk curhat dan tidak mempedulikan pelanggan, kan?


2. produk pasar, harga mall
pernah belanja di pasar? well, jangan kaget dengan harganya karena ada harga, ya ada juga kualitas. harga setengah dari mall, daya tahannya pun cuma setengah.
itu biasa.
tapi produk-produk di tempat belanja ini sungguh-sungguh kualitas pasar. kenapa saya bisa sesotoy ini? ups. coba saja sentuh pakaian yang mereka jual. tidak berbeda dengan yang dijual di pasar, bahkan emperannya pasar. harganya? wow. sangat normal. senormal sebuah department store menjual barang berkualitas.jadi, hukum "ada uang ada barang" nggak berlaku di tempat ini. "uang" sih ada. "barang"nya? well, silakan coba sendiri.


3. tidak mengikuti perkembangan zaman.
ini sudah 2011. supermarket, bahkan supernya supermarket (apa ya namanya? hypermarket?) sudah menjamur di mana-mana. dengan tempat yang lebih luas, penataan produk yang lebih teratur, terorganisir, dan selalu rapi, ditambah tempat yang selalu bersih dan spg/spb yang selalu bisa ramah.
bukannya berkaca dari kemajuan pusat perbelanjaan, tempat belanja ini tetap saja mempertahankan kekunoannya. tempat kecil, kurang teratur, fasilitas timbangan buah/sayur yang seadanya, kasir yang menyedihkan, dll.


hng.. saya yang tadinya ingin mendamprat kasir itu jadi memaklumi. karyawan yang baik, selain karena bawaan pribadi masing2, pasti buah dari didikan dan training yang baik, ditambah gaji yang memadai, meski tidak bisa dibilang selalu mencukupi. nah, kalau kasirnya saja semenyebalkan itu, saya bisa bayangkan bagaimana sebenarnya ia diperlakukan perusahaannya. gajinya kecil dan tidak mencukupi kebutuhannya. apa dia lantas punya pilihan? tidak. dia cuma lulusan sekolah menengah yang butuh pekerjaan dan si perusahaan sangat butuh orang seperti dia untuk dibayar rendah.


dunia kejam, bukan??

Minggu, 16 Januari 2011

kancil di negeri jerapah, episode "tes DNA"

(ini cuma cerita biasa, di hari biasa, oleh orang-orang biasa, dengan pengalaman biasa)


tokoh-tokoh utama
Bu Kancil: ibu guru yang senantiasa berusaha tetap hidup dan bernafas tiap kali selesai mengajar kelas-kelas hewan pengerat sejenis marmut dan hewan-hewan super kecil dan cerdas, semut.
Semut 1: anggota kelas semut yang terlalu terobsesi sinetron
semut 2: anggota kelas semut yang lebih logis tapi tetap tak bisa berbahasa jerapah


di suatu siang yang panas.. di sebuah kelas sejuk nan empuk...


bu Kancil: (dengan bahasa bangsa jerapah) yak, anak-anak, pertama-tama, gambar dulu ibu kalian, dari kepala sampai kaki, dalam kotak yang ada di kertas itu.


semut-semut bengong.


bu Kancil: masih ingat gimana wajah ibu kalian, kan? nah, sekarang, gambar ibu kalian yaaaa


semut-semut mulai ngambil pensil masing-masing dan menggambar apa yang mereka sebut "ibu". bu kancil mondar-mandir, ngeliatin usaha murid-muridnya, trus berhenti di sebuah kursi yang didudukin semut 1


bu Kancil: sudah gambar ibu-nya?
semut 1: (dengan bahasa bangsa kancil) sudah...


bu Kancil memperhatikan hasil gambar semut 1 dan kaget campur bingung. gambar "ibu" yang ditunjukkan semut1 kok lebih mirip kepala kelinci??


bu Kancil: (masih berusaha ber"budaya" dengan bahasa jerapah) ini beneran gambar ibu kamu?
semut 1: iyaaaa


bu kancil setengah mati nahan nyengir.
belum selesai keanehan pertama, semut 1 udah bikin keajaiban lain. dia terlihat nulis-nulis sesuatu dalam kertas yang dikasih bu Kancil. Bu Kancil merhatiin dengan bingung.


bu Kancil: (dalam hati) perasaan tadi gue suruh bagian kosong itu diisi nama. kenapa jadi panjang banget tulisan tuh anak?
semut1: (ngoceh dalam bahasa bangsa Kancil) ...Ini adalah hasil tes DNA. ...Amira adalah anak dari bapak...blahblahblah...dan ibu...blahblahblah... sedangkan....blahblah... adalah anak dari...blahblah..


bu Kancil tambah bingung. dalam benaknya, ia bertanya-tanya.pertama, kenapa semut sekecil itu tau tes DNA? kedua, bisa aja sih dia abis ngelakuin tes DNA. tapi buat apaaa? buat apa anak yang ngomongnya masi belepotan itu ikut tes DNA segala? ketiga, ngapain tes DNA-nya ditulis-tulis dalam kertas aktivitas dari gue??


semut 2: oooh, putri yang ditukar.
bu Kancil: (tetap diam, bingung, gak nyambung)
semut 2:putri yang ditukar...


bu kancil mulai ngeh.rupanya kalimat yang baru diucapin semut 2 adalah judul salah satu sinetron. jadi tes DNA yang bikin semut 1 ngoceh adalah hasil "kecerdasan" dia menghafal dialog atau narasi sinetron.Gokiiiil!
Maka, bu Kancilpun udah nggak tahan lagi. dia mulai cengar-cengir nahan ketawa di depan semut 1.rupanya, semut 2 (yang duduknya sebelahan sama semut 1) juga merhatiin bu Kancil dan ikutan senyum. semut 2 satu-satunya saksi betapa "istimewa"nya semut 1


semut 2: miiiiss!
bu Kancil: yyyyaaa?
semut 2: (sambil nunjuk ke arah semut 1) dia... huweeeek!


semut 2 berusaha nunjukin gerakan muntah.
jadi, bu Kancil pun berusaha menginterpretasi maksud bahasa Tagalog goblok semut 2.hasilnya adalah: "miss...semut 1 tuh menjijikkan/she's disgusting, miss!"


bu Kancil pun gak tahan lagi. dia mulai senyam-senyum sendiri di kelas absurd yang berisi semut-semut ajaib yang salah satunya ternyata korban sinetron...!


*gubrak*
bersambung