Sabtu, 12 Maret 2016

Tentang Ojek (bagian 1)



Bicara soal ojek, secara pribadi, ini udah kayak ngomongin sejarah hidup sendiri. Bukan karena gue tukang ojek, tapi karena gue adalah salah satu manusia penggemar jasa transportasi ini belasan tahun lamanya! Dari mulai masuk kuliah (dan kepaksa mondar-mandir stasiun lewatin jalan tikus yang hanya bisa dilewatin ojek), sampai setua ini (Tua? Yaaaa! Buat anak kuliahan semester tengah, gue sangatlah tua. Haha!) gue masih sering mengandalkan ojek ke berbagai tujuan. Mau gimana lagi? Ojek sampai saat ini kan masih jadi satu-satunya pilihan untuk transportasi umum 1 on 1 yang bebas macet, ya? Setuju?

Kalau ojek konvensional, cerita dimulai dari gue bolak-balik ke stasiun terdekat (stasiun Cilebut, yes) untuk bisa mencapai kereta menuju kampus (kampus hits di Depok, sampe stasiunnya dinamain sesuai kampus ini :p). Jaman tahun 2004, ojek di tempat gue untuk jarak depan gang rumah-stasiun cuma Rp 3.000 maaaaan! :D Ini jaman dikala gue belum punya langganan ojek, dan hanya untuk pulang kampus pun kadang gue nggak menggunakan jasa ojek ini karena milih naik kendaraan umum aja yang jaman 12 tahun lalu nggak sampai 3000 perak (dahulu semua indah, kawan!). Dulu, bagi anak kuliahan, penghematan 1000 perak per hari itu udah warbyasak, loh. Hahah! Tapi kadang penghematan ini juga gagal karena kalau pagi-pagi sampai stasiun kampus udah mepet waktu masuk kelas, gue dengan entengnya manggilin ojek yang mangkal di sekitar stasiun untuk nganterin ke fakultas gue, even ke pintu masuk yang terdekat ke gedung tempat kuliah gue dimulai dengan tarif geblek yang bikin mata melotot kalau diingat-ingat sekarang: 2.000 perak! Sungguh, masa lalu itu sangat sangatlah indah! T_T




1 komentar:

Fauzan mengatakan...

terima kasih ceritanya sangat menarik.,.,.salam
dktourjogja