Aku memandang ke sekelilingku. Rasanya, selalu tidak ada
yang berubah dari tempat ini. Selalu kotor, tak rapi, dan kumuh. Lantainya saja
selalu berdebu tebal; begitu tebalnya hingga setiap ada yang menyapu lantai,
debunya akan beterbangan dan membuat hampir semua orang yang berada di tempat
ini menutup mulut dan hidung mereka.
Lantai-lantai di tiap pojok malah biasanya berisi gunungan
sampah. Ini terkadang menimbulkan bau, terutama bagi mereka yang duduk di
bangku-bangku pojok. Tumpukan sampah ini kebanyakan adalah sampah kemasan,
seperti gelas-gelas plastik. Kulit-kulit buah pun tak absen memenuhi hampir
setiap pojok.
Ada banyak bangku yang berderet di sini. Tapi, lagi-lagi,
tidak semuanya utuh dan berfungsi. Malah, seringkali, ada sampah bekas makanan
atau bahkan air yang membasahi salah
satu dari deretan bangku ini, terutama di musim hujan. Ini karena pintu-pintu
yang ada tidak mampu menahan derasnya air hujan yang masuk dari luar. Lagipula,
bagaimana bisa menahan air hujan? Ditutup pun sudah tak bisa.
Dinding tempat ini ramai akan tulisan-tulisan tangan dan
stiker. Tulisan-tulisannya beragam, mulai dari tulisan iseng seseorang yang
seolah berusaha igin menunjukkan identitasnya dengan menuliskan nama sekolahnya,
nama orang, atau tempat orang ini tinggal dan berkuasa, sampai tulisan ungkapan
hati yang sepertinya tak tersampaikan. Satu kalimat tulisan yang paling kuingat
hingga sekarang adalah ‘gue yang nguasain Tanah Abang’. Kadang-kadang, tulisan
yang ada juga “dilengkapi” gambar, entah itu gambar wajah pria atau gambar-gambar
tak senonoh yang akupun malas melihatnya.
Kalau mengenai stiker-stiker, lain lagi. Biasanya yang
ditempel di dinding tempat ini stiker promosi, dari promosi alat penghemat
listrik hingga calon-calon kepala daerah. Sebagian ada yang masih utuh,
sebagian lagi cuma tersisa setengah karena telah dirobek paksa oleh seseorang. Tiang-tiang
yang berada tepat di atas deretan bangku seringkali kotor, atau setidaknya
licin berminyak. Aku tak heran. Setiap hari, ribuan manusia memang keluar-masuk
tempat ini. Aku tak dapat membayangkan seberapa banyak kuman yang menempel di
tiang-tiang itu.
Atap tempat ini juga sama saja. Tampak kotor dan berdebu,
terutama di dalam kipas angin yang hidupnya hanya sesekali itu. Debu coklat
kehitaman yang sudah memadat tampak menempel dalam kipas itu. Tapi, aku heran. Kenapa
setiap orang yang berlalu-lalang di tempat ini kelihatan tak terganggu dengan
kondisi alat transportasi yang mereka gunakan, ya? Kalau cuma pengemis yang
sekarang tengah menyeret-nyeret dirinya di atas lantai penuh debu dan tanah
sambil menengadahkan tangan ke setiap penumpang, sih, aku tak heran. Tapi,
kenapa orang-orang yang duduk di seberang bangkuku, yang berpakaian rapi
seperti layaknya pegawai kantoran, dan gadis muda di sebelahku, yang tampaknya
seorang mahasiswa, tampak nyaman-nyaman saja? Waktu aku menoleh ke jendela yang
kacanya sudah retak dan tidak dapat ditutup lagi, kulihat tulisan “Pondok Cina”
di luar sana. Ah, pasti stasiun tujuanku sudah dekat. Lebih baik aku berdiri
saja sekarang. Stasiun Universitas Indonesia pasti sudah “menunggu”ku seperti
biasa. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar