Pernahkah kau dengar dongeng ini?
Dongeng air dan api
Yang dahulu sempat saling mencintai
Kini akan kuceritakan itu lagi
Di suatu hari yang dingin
Air mengalir dalam liuk-liuk sungai
Lalu ia bertemu dengan percikan api
Di tepi sungai, sang air datangi api itu
Api yang hampir mati
Semakin menggigil ketika air menghampiri
Tapi air terlanjur jatuh cinta pada api
Maka ia serahkan sisa kehangatan untuk api
Air yang semula dingin
Berubah hangat karena sang api mungil
Tapi tak cukup hangat untuk bisa hidupkan lagi
Jiwa api yang sempat amat hangat dan berkobar
Sebelum api mati
Ia tinggalkan untuk air, pesan yang suci
Bahwa kelak seluruh api yang ada di bumi
Tak akan pernah bisa menyatu dengan air
Air dan api
Akan selalu bertentangan
Kobaran api akan mengeringkan air
Percikan air akan memadamkan api
Air mendengarnya dengan sedih
Titik-titik air mata air membasuh sisa api
Api menyala sebentar, sebelum akhirnya benar-benar mati
Hanya segumpal asap yang kini menemani air
Itulah dongeng air dan api
Yang dengan sebesar apapun usaha
Akan tetap saling menyakiti
Saling membunuh
Seperti kau dan aku
Yang terlalu berbeda..
Hingga tak terukur batas dan jaraknya
Kita (mungkin) tak akan pernah sanggup bersama
Cerita keseharian Bu Mecil beserta perasaannya, dan imajinasinya, dan para rekannya yang aneh-aneh.
Minggu, 19 Juli 2009
Bukan puisi romantis
Aku berani bersumpah
Ini bukan puisi romantis
Yang mengumbar kata super gombal
Dan kalau dibaca hanya bikin mual
Ini cuma sebuah kesadaran
Atas diri sendiri, di masa lalu
Ternyata begitulah aku dahulu
Kerjanya tulis curhat melulu
Kulihat lagi isi binderku
Ternyata banyak puisi, disitu
Puisi buatanku
Saat masih amat lugu
Ada dua puluh sembilan puisi
Tema beda, tapi sumbernya sama
Yaitu dari hatiku sendiri
Dengan bumbu-bumbu pengalaman pribadi
Kalau makanan, aku pasti sudah kekenyangan
Sambil bertanya-tanya, ‘kapan lagi makan seperti ini?’
Benar-benar langka
Ternyata puisi-puisiku nyastra!
Lalu harus aku bawa ke mana
Puisi-puisi dari hati itu
Dikirim ke majalah, aku ragu
Jaman sekarang, puisi sudah nggak laku!
Jadi kuketik saja
Siapa tahu kapan-kapan aku bisa
Ketemu orang pecinta kata-kata bermakna
Lalu puisiku dibelinya, dan aku kaya raya!!
Ini bukan puisi romantis
Yang mengumbar kata super gombal
Dan kalau dibaca hanya bikin mual
Ini cuma sebuah kesadaran
Atas diri sendiri, di masa lalu
Ternyata begitulah aku dahulu
Kerjanya tulis curhat melulu
Kulihat lagi isi binderku
Ternyata banyak puisi, disitu
Puisi buatanku
Saat masih amat lugu
Ada dua puluh sembilan puisi
Tema beda, tapi sumbernya sama
Yaitu dari hatiku sendiri
Dengan bumbu-bumbu pengalaman pribadi
Kalau makanan, aku pasti sudah kekenyangan
Sambil bertanya-tanya, ‘kapan lagi makan seperti ini?’
Benar-benar langka
Ternyata puisi-puisiku nyastra!
Lalu harus aku bawa ke mana
Puisi-puisi dari hati itu
Dikirim ke majalah, aku ragu
Jaman sekarang, puisi sudah nggak laku!
Jadi kuketik saja
Siapa tahu kapan-kapan aku bisa
Ketemu orang pecinta kata-kata bermakna
Lalu puisiku dibelinya, dan aku kaya raya!!
Langganan:
Postingan (Atom)